Senin, 05 Januari 2015

Buku Kumpulan Cerpenku yang bakal terbit bulan Januari ini ^_^

Dairy KMB 1 : Diskusi Via Telepon

26 Desember 2014, menjadi momen pertama yang tak terlupakan ketika aku memulai diskusi kepenulisan bersama empat orang temanku via telepon. Hari Jumat yang menjadi jadwal offline kami qadarullah selalu mendapat ujian kesabaran dari-Nya, sedangkan untuk jadwal online, alhamdulillah tetap berjalan. Jumat dua minggu lalu, hujan mengguyur kota Selong, kota di mana kampus kami megah berdiri, sekaligus menjadi tempat diskusi kami. Jumat  minggu lalu kakak  misanku melangsungkan akad nikahnya di tengah deru suara hujan yang semakin melebat. Jumat hari ini menjadi Jumat ketiga kegagalan kami bertemu karena hujan baru reda ketika jam Hello Kittyku membentuk sudut seratus tiga puluh lima derajat pojok kanan bawah, yang berarti pukul lima sore kurang lima belas menit. Karena semangat yang membara ditengah musim penghujan yang masih selau menyapa, ku raih hp dan menulis sms kepada teman-temanku.

Assalaualaikum. Maaf teman-teman, kita terhalang kembali untuk bertemu, tapi hujan gak boleh menghalangi semangat kita, masih ada jalan lain menuju Roma. Bertemu tak bisa, masih ada telepon yang selalu bisa. Mohon konfirmasi kesediaannya belajar lewat grup call sekarang. Send. Sms itupun terkirim.

Dua menit menunggu, tiga teman sudah mengkonfirmasi kesanggupannya. Tanpa menunggu lama, mengingat waktu yang terus mengejar angka lima dan dua belas, semua temanpun sudah tersambung.

“Assalamualaikum.”

“Waalaikumussalam warohmatullahi wabarokatuh.”

“Mari kita mulai belajar kita dengan sama-sama membaca basmallah.”

“Bismillah.”

Kamipun memulai belajar dengan nikmat, seolah kami benar-benar berada di ruang diskusi nyata. Lontaran tanya kian menghangatkan suasana selepas awan menumpahkan rinai hujan membasah bumi Allah.Alhamduliiah alaa kulli haal, setiap takdir itu baik, meskipun saat itu kita belum mampu menebak apa hikmah dibalik takdir-Nya.

Hampir satu jam menggenap, waktunya mengakhiri diskusi. Aku bertanya tentang kesimpulan apa yang kami pelajari di kesempatan unik ini.

“Apa yang kita pelajari sore ini?” tanyaku.

“Hari ini kita belajar tentang penghambat datangnya ide dan solusinya.” Neli mengawali kesimpulannya.

“Hari ini kita belajar tentang sembilan jenis buku paling popular di pasaran.” Ela melanjutkan.

“Hari ini kita belajar tentang penulisan cerpen secara umum, struktur penulisan sesuai EyD, tapi itu juga secara umum.” Dovi menutup kesimpulanya.

“Pokoknya hari ini belajar banyak.” Neli nyeletuk lagi.

“Iya, kesimpulan yang bagus. Artinya semua sudah sama-sama mengerti. Jangan lupa, pertemuan selanjutnya, kosa kata baru lagi ya. Ingat juga, karya masing-masing  sudah harus siap bedah.”

“Sip!” Suara teman-temanku hampir bersamaan.

Sepuluh menit lewat sudah, berakhirlah diskusi yang menurutku pribadi cukup menarik itu. Selanjutnya tinggal menunggu kiriman karya teman-temnaku yang akan dibedah minggu depan. Permintaan maaf, ucapan terima kasih, dan salamlah yang mengakhiri semuanya. Sampai jumpa di Dairy KMB minggu depan.

*Belajar menulis, mohon masukan. Terima kasih

Menulis, Bisa!

Sekolah?
Punya buku catatan?
Punya Facebook?
Update status setiap hari?

Saya yakin, sekian deret pertanyaan itu pasti dijawab hanya dengan satu jawaban, “Iya.” Nah, berarti sahabat semuanya adalah seorang penulis, penulis di facebook, penulis buku catatan, dan penulis-penulis lainnya. Penulis adalah seseorang yang mengerjakan pekerjaan menulis, apa yang ditulis penulis disebut tulisan. Jangan membatasi pikiran bahwa kata penulis hanya bagi mereka yang karyanya sudah dipublikasikan secara besar-besaran saja.

Ada pertanyaan yang sering terlontar dari mereka yang terlalu mengkotak-kotakkan istilah penulis. Bagaimana caranya untuk menjadi penulis?
Aduh, kok nanya lagi. Saya jawab, MENULISLAH! Pada dasarnya kita tau itu, tapi pikiran kita masih dipersempit oleh anggapan seperti yang saya sebutkan di awal. Sekarang, coba diam sejenak, ingat pelajaran bahasa Indonesia mengenai imbuhan kalau memang malas membuka KBBI, maka akan ketemulah jawabannya. Kalau sudah bisa menerima, mari kita lanjutkan.

Tapi kan saya bukan penulis, lalu bagaimana saya bisa memulai untuk menulis?
Jawabannya lagi-lagi, ya menulis dulu baru dikatakan penulis. Masuk logika, bukan? Yang penting sekali lagi jangan dipersempit! Orang yang menulis naskah drama juga disebut penulis, penulis naskah. Orang yang menulis skenrio film juga disebut penulis, penulis skenario. Bukankah begitu?

Lalu apa saja yang harus saya tulis?
Banyak, kita bisa memulainya dari diri kita sendiri, pengalaman kita mungkin, atau dari orang-orang di sekeliling kita, tentang lingkungan kita, dan masih banyak lagi. Saran saya, coba kita mulai dari hal yang mudah dan menyenangkan, sehingga kita tidak merasa terbeban di awal kemudian menganggap menulis itu sulit. Jenis tulisan yang ingin ditulis juga boleh apa saja, fiksi, nonfiksi, cerpen, artikel, FTS, dan lain-lain.

Dimana saya menulis?
Laptop banyak, buku, facebook, blog, twitter, dan masih banyak lagi media yang saat ini tumbuh dengan pesat.

Kapan saya bisa menulis?
Menulis boleh kapan saja, diutamakan saat ide itu muncul. Saat ide di kepala kita muncul, jangan sampai dilewatkan. Kita harus langsung menulisnya agar tidak lupa. Jika saat itu ternyata kita punya pekerjaan lain, kita bisa menulisnya di buku yang kita bawa atau di hp. Saat waktu luang tiba, tinggal kita pindahkan lalu tambah dengan pengembanagn yang kita inginkan.

Saya senang menulis di laptop, tapi saya tidak bisa mengetiknya dengan cepat, kelambatan saya sering menghilangkan ide saya sebelum saya tuangkan, alhasil tulisan saya jadi macet. Bagaimana solusinya?
Tulis dibuku dahulu! Jika ternyata itu terlalu merepotkan, silakan ketik di laptop. Keslahan typo (pengetikan) diabaikan saja, biarkan ide kita mengalir terlebih dahulu. Jika tulisan kita sudah selesai, barulah membacanya ulang sambil merevisi bagian yang kurang tepat dan salah ketik. Masalah kelambatan, itu masalah proses, nanti juga terbiasa.

Tapi saya tidak terlalu paham EYD.
Kita belajar sambil terus menjaga semangat menulis kita. Jangan sampai langkah kita terhenti hanya karena satu dua rintangan yang kita temui di tengah jalan.

Baiklah, pertanyaan kita cukupkan. Kita beralih kepada buku yang beberapa hari lalu saya baca. Satu kalimat berahasa Inggris yang saya temui ketika membaca buku “Menjadi Penulis Kreatif” milik Ipnu Rinto Nurgoho, penulis buku bestseller “3 Pocong Idiot”. Beliau menuliskan “I know I can write.’ Kita sebagai orang yang sedang menata niat untuk terus menulis sudah selayaknya menjadikan kalimat itu sebagai motivasi bagi diri kita. Suatu prestasi besar berawal dari usaha yang terus –menerus, dari hal-hal kecil yang mungkin kita bahkan orang lain sepelekan. Kita harus senantiasa berpositif thinking ketika kita ingin mengembangkan apa yang kita inginkan. Tau visi dari Komunitas Menulis Bersama yang begitu singkat namun sarat makna 'kan? “Sebuah Karya untuk Semesta," dimana visi itu juga merupakan motto saya.

Yang terakhir bagi kita agar tidak ada celah untuk berpikiran negatif dan ragu memulai sesuatu. Ini sebenarnya tidak ada kaitannya langsung dengan tulis-menulis, tapi ini berkaitan dengan pola pikir kita yang harus kita tanamkan sejak awal ketika ingin mengerjakan sesuatu, termasuk menyelesaikan tulisan juga. Kutipan dari Pascal, seoarang filsuf ahli matematika berkata, “Pikiran positif datang dari keyakinan, pikiran negatif datang dari keragu-raguan. Rasa takut yang benar adalah rasa takut yang digabungkan dengan harapan, karena itu lahir dari kepercayaan, serta kita berharap dari Tuhan yang kita yakini. Sementara rasa takut yang salah digabungkan dengan keputusasaan. Karena kita takut kepada Tuhan, maka beberapa orang takut kehilangan-Nya, namun ada juga yang takut mencari-Nya.

Bagaimana? Masih ragu dan menganggap menulis itu sulit?

Pak Tukang Becak

Pagi beranjak siang, semakin dekat hari perpisahan bersama teman-teman PPL, semakin tak ingin melewatkan momen-momen kecil untuk bersama. Tapi hari ini berbeda dengan sebelumnya, masih suasana UTS siswa, mahasiswa PPL diliburkan sementara, hanya yang punya keperluan dengan guru pamong saja yang ke sekolah, termasuk aku, dua orang teman cewek, dan seorang cowok.

Usai menemui guru pamong, tiba-tiba salah seorang temanku menawarkan agar kami ke pasar membeli keperluan dapur, mengingat selama di posko PPL KKN kami hampir tidak pernah ke pasar dan hanya membeli dipenjaja kaki lima dekat posko. Kami sepakat dan tak lama lewatlah becak di depan sekolah.

"Pak, stop!" Teriak Ahyar, teman cowok kami. Aku dan dua orang teman cewekku bergegas menuju becak, sedangkan yang cowok memilih untuk kembali ke posko. Kamipun menaiki si becak.
"Mau kemana, Nak?"Tanya pak kusir.
"Pasar, Pak."
"Pasar terminal?" Tanyanya lagi.
"Iya, Pak."

Sejenak obrolan kami terputus, yang ada hanyalah angin sepoi yang mengingatkan kami untuk bersyukur atas segala nikmat udara, kesempatan, umur, kehidupan yang lebih baik dari si tukang becak, dan masih banyak lagi yang harus disyukuri. Aku tersenyum lantaran ini pertama kali lagi aku menaiki becak setelah sekian tahun hanya bergantung pada kendaraan berbensin.

"Lagi PPL ya, Nak?" Tanya pak kusir.
"Iya, Pak."
"Kapan selesainya?"
"Dua minggu lagi, Pak."
"Oh. Anak saya juga sedang PPL. Semoga bapak bisa membiayainya hingga selesai."
"Iyakah?"

Kalimat itu memang sedikit, tapi hanya mereka yang pekalah yang mampu mengambil pelajaran luar biasa. Kami saling menatap. Tak menduga ternyata dibalik kesederhanaan bapak ini, ada anak yang bisa dibiayainya hingga hampir selesai kuliah. Aku jadi teringat tempo hari di TV, ketika sang putri wisuda, dia diantar dengan becak oleh ayahnya. Mungkin kelak iapun akan menjadi seperti itu, ayah sederhana dengan anak luar biasa.

"Ya Allah, terima kasih untuk pelajaran berharga yang Engkau ajarkan melalui seorang bapak-bapak dan seekor kudanya, betapa bersyukurnya kami yang masih memiliki orang tua yang jauh lebih berkecukupan. Sehatkan orang tua kami, jaga motivasi kami untuk tetap semangat belajar sebagaimana senantiasanya motivasi mereka agar kami menjadi pribadi mandiri yang bisa bermanfaat bagi sesama. Ya Allah, lancarkan rizki si tukang becak, semoga cita-cita yang ia titipkan pada anaknya Engkau wujudkan. Aamiin."



Curhat Katanya

#part I (General)

Hari ini aku kembali bertemu dengannya, lelaki yang ku kagumi itu. Sudah masuk tahun ke empat kuliahku dan aku masih seperti dulu, hanya bersembunyi di balik kacamata wanitaku.

Sore itu, aku menginjakkan kaki di kampus yang sepi, hanya terlihat secuil debu beterbangan menyapu tanah. Langkahku bukan langkah semangat, bukan juga langkah lesu, melainkan langkah rutinitas sebagai seorang mahasiswi yang mengisi liburan dengan sedikit kegiatan. Menaiki anak tangga lalu sampailah pada lantai dan ruang yang dimaksud. Ku lihat sesungging senyum tulus menyambut kedatanganku di sana, dialah lelaki yang selama ini ku tau mencintaiku dengan sangat. Akupun membalas lalu merunduk jalan.

“Assalamualaikum.” Salamku lalu duduk dan becengkrama  bersama teman-teman wanita lainnya. Posisiku bersebelahan dengan tiang agar tak terlalu jelas dari deretan para lelaki yang ternyata semuanya sedikit lebih muda dariku. Merekalah para generasi penerus kampus.

Sekitar sepuluh menit berlalu, akupun berdiri lalu keluar dari perkumpulan karena ada keperluan yang ingin kutunaikan sebentar. Tak lama berselang, akupun kembali, dan ada yang baru ketika aku kembali. Ada seorang yang kukagumi sudah duduk manis di sana. Senyumnya mengembang, khas dirinya yang biasa ku lihat setiap kami bertemu. Tak dipungkiri, otakku merekam semua tampilannya, hingga perubahan kulitnya setelah sekian lama merantau terekam otomatis. Selamat datang kembali di tempat ini, Ucap hatiku.

Melihatmu, haruskah aku menyimpankan satu buku yang bisa mengekspresikan segala tentangku untukmu? Aku pernah menulis satu cerita tentangku padamu, tapi hingga detik ini kau tak pernah tau. Biarlah, yang penting kau sudah abadi dalam buku itu. Aku lebih nyaman kau tak tau. Hanya berani berkata pada diri.

Tibalah saat dia berbagi dengan kami, segala kisah perjalanan, pelajaran, dan motivasi tersalur. Waktu ternyata membatasi kami namun sedikit wejangannya tak ku sia-siakan.

Uupss!! Ternyata ada mata lain yang memperhatikanku melihatnya. Senyumkupun tertangkap oleh sang pemberi senyum di awal. Maaf.

Bersambung…
*Maaf kalau tidak dimengerti, maklumkan hati sang pencurhat membebaskan diri. hi

Rindu Sendal Syaikh (Memori SMA IT Abu Hurairah)

Jreeng!!!

“Assalamualaikum warohmatullahi wabarokaatuh.” Versi Wendi, ABG Jadi Manten.

Rindu
Terobati dengan sebuah pertemuan
Terlukai lagi dengan sebuah perpisahan
Lalu haruskah kita tak memulai?
***

Sudah hampir empat tahun aku meninggalkan Abu Hurairah tercinta, sekolah yang menuntun sebagian usia remajaku. Setelah sekian lama disibukkan oleh aktifitas kampus yang padat, pagi ini coba kuputar lagi beberapa keping ingatan agar semua kesan itu bisa selalu disyukuri.

“Kemana ya sandal syaikhku?” itulah pertanyaan yang selalu hadir hingga detik ini. So, why? Tinggal dijawab aja kan, di sana atau di sini. Masalahnya tempetnya aja aku gak tau juga.

Dengan segala daya upaya kuusahakan -dramatis banget- agar sandal itu tetap bertahan meski dimakan usia –tambah lebay aja- , akhirnya tiada lagi jejaknya.

Mungkin setahun belakangan ini sandal Syaikh tak lagi tampak batang hidungnya –emangnya manusia?-. Padahal sandal itu begitu berharga. Mendapatkannya pun butuh pengorbanan hati. Kok bisa?

Ceritanya, di suatu sore aku dijemput paman untuk pulang karena mama jatuh sakit, padahal esok harinya Syaikh Dakhil akan datang ke asrama. Ingin sekali ku liat seorang bernama Syaikh Dakhil itu secara langsung, orang yang banyak berjasa untuk Abu Hurairah Tercinta. Kurang lebih seminggu lamanya aku dan teman-tema gak sabar menanti kehadiran beliau, ternyata Allah memintaku untuk pulang. Takdir. Lesu, lemah, lunglai.

“Ayo pulang.” Ajak paman dengan lemahnya.

Akupun melangkah dengan lemah juga. Ternyata penantianku berakhir tanpa perjumpaan dengan orang yang ditunggu. Akupun pulang, karena mama nomor satu. Meskipin berat juga langkahku meninggalkan asrama.
***

Balik ke Abu Hurairah setelah beberapa hari di rumah, sebuah bingkisan penuh diberikan oleh Hety padaku. “Ini ukh bagiannya dari Syaikh Dakhil.” Katanya bersemangat.

Aku tersenyum lalu berucap, “Jazakillah khair ya.” Padahal kalo bisa terima langsung saat syaikhnya di sini pasti berkesan banget.

Bingkisan itupun aku buka. Semua santri dapat bingkisan juga, dari SD sampai SMA. Untuk yang SMA, aku melihat isinya dari bingkisan yang aku peroleh. Ada gamis, sandal kodok, buku tulis, dan perlengkapan sekolah lainnya.
***

Hampir empat tahun berlalu, saat ini aku mahasiswi semester  enam. Alat tulis tentu bisa habis karena dipakai. Gamis masih seringku pakai, tapi sandal, sandal yang berusaha ku jaga juga gak tau kemana. Dulu aku takut bawa keluar rumah. Mungkin karena kelalaian, hingga sekarang entah dimana benda itu berada. Warnanya biru, warna kesukaanku. Dipakainya juga nyaman. Uhuk-uhuk kangen banget, soalnya dapetinnya juga ‘begitu’ banget. Oh sandal Syaikhku, kemanakah kamu? Hanya ikhlas yang mampu membayarnya lunas.

Punya kalian masih ada gak?

Kegagalan Itu Milikku

“Aku hampir lupa rasanya menjadi pemenang, karena kegagalan lebih sering aku dapatkan.”

Kegagalan, satu kata yang bagi sebagian orang menjadi  momok yang menakutkan. Satu kata yang bagi sebagian orang juga menjadi hal yang harus dihindari. Satu kata yang malah bagi sebagian orang menjadi suatu tantangan yang harus dihadapi, harus diiyakan, bahkan terkadang harus ditelan mentah-mentah.

Kegagalan bukan hanya masalah kita menerima lalu hilang. Jika perkaranya hanya sebatas itu, tidak ada orang yang takut akan gagal, tidak ada orang yang termotivasi ataupun merasa jatuh sama sekali, tapi kegagalan juga masalah hati, masalah kelapangan, masalah perasaan, dan masalah kesabaran. Orang yang berani menantang kegagalan adalah mereka yang memiliki kesabaran, mereka yang telah menyiapkan kelapangan pada hatinya. Setinggi tantangan lebih tinggi lagi kesabaran ketika kita menerima kekalahan.

Semua orang yang mengusahakan sesuatu pasti dengan tujuan untuk meraih keberhasilan, menjadi pemenang untuk suatu tantangan yang diambil. Semua orang menginginkan kebahagiaan untuk dirinya, karena menang itu menyenangkan. Tapi taukah, apapun tantangan itu, sekecil atau sebesar apapun, hanya ada satu diantara dua kemungkinan yang akan didapatkan. Menang atau kalah, berhasil atau gagal. Jika keberhasilan belum mendatangi kita, berlapangkah untuk kata gagal.

“Aku bersyukur meski yang kurasakan hanya sebuah kegagalan, daripada mereka yang tak merasakan apapun.”

Kegagalan atau keberhasilan akan terasa setelah orang menjalani sebuah tantangan, karena keduanya merupakan hasil dari sebuah perjuangan. Tidak merasakan berarti tidak berbuat, beranilah untuk merasakan, daripada tidak sama sekali.

Banyak orang menghindari tantangan untuk mencari jalan aman agar tak ada stempel gagal ataupun rasa sedih yang mungkin akan melandanya. Ketahuilah, mereka itulah pecundang.

Jangan juga cepat menghukumi diri kita tak memiliki kemampuan dalam hal ini ataupun hal itu, hanya mencoba yang akan membuat kita tahu. Kita ambil contoh, ada seorang yang berkata,”Ini mungkin bukan bidangku. Bidangku dan minatku adalah tulisan fiksi, sementara nonfiksi aku tak tau sama sekali.”

Bagaimana kita bisa mengetahui diri kita jika tidak mencobanya dahulu, bukan sekali, bukan dua kali, melainkan berkali-kali. Kemauan itu melampaui kemampuan. Komitmen dan konsistensi akan menemani kita untuk menjalani sebuah tantangan. Jika kegagalan adalah sesuatu yang ditakutkan lalu menghindari tantangan,  maka dipastikan tak ada kemenangan untuk seorang penakut.

Gagal itu bagai akar, kegagalan selanjutnya bagai batang, kegagalan selanjutnya lagi bagai daun, dan keberhasilan itu bagai bunga yang bermekaran. Akar itu buruk rupanya tapi paling kuat pengaruhnya. Kegagalan  selanjutnya lebih ringan karena kita sudah melewati akar, dan keberhasilan itu sangat indah, ditopang oleh akar, batang, dan daun. Maka jadikan kegagalan sebagai akar penyemangat untuk memekarkan bunga keberhasilan.

12 Ramadhan 1434 H / 21 Juli 2013
Pada kegagalan yang ke_4 dibidang 'itu'

(Maaf, jika tulisannya tidak beraturan. Jika ada masukan,silakan. Terima kasih.)

Si Kucing Lansia

Maghrib, 28 Mei 2014…

Aku baru saja sampai di rumah setelah mengikuti rapat organisasi di kampus. Setelah helm ku letakkan pada tempatnya, aku melangkah letih ke kamarku di ujung barat sebelah ruang baca. Aku menyingkap gorden berwarna krem itu, dan aku tak menyangka ada seekor kucing tengah menikmati tidurnya di atas pelengkapan sholat yang ku letakkan di ujung ranjang.

“Kak,” aku memanggil kakakku agar meilhat kucing itu, “Kenapa kucing itu bisa ada di situ? Kan kotor tuh. Coba lihat wajahnya sama kepalanya!” Kami memperhatikan kucing itu, sedangkan si kucing yang diperbincangkan masih tidur dengan pulas.

“Tadi siang sebelum kamu berangkat ke kampus kamu tutup pintu kan?” Tanya kakak balik.

“Iya.” Setelah itu kami saling pandang, “Pasti masuk lewat jendela.” Sambungku.

Kakakku bergegas mengambil sapu lidi, aku pun masuk kamar membiarkan kucing itu masih pulas di ujung ranjangku. Ku letakkan tas ranselku di atas meja belajar, dia masih nyaman, aku membuka lemari, dia juga masih pulas, dan saat ku tarik kursi di dekat meja belajarku, kucing itupun terbangun.

“Meeeow.” Suaranya seperti bisikan yang sangat kecil dan hampir tak terdengar. Kenapa justru tidak lari? Kan sudah ketangkep basah tidur di kamarku? Aku heran.

“Sreet.” Suara sibakan gorden. “Ini sapu lidinya. Cepat usir kucing itu!”Kata kakakku yang tidak suka pada kucing.

“Gak tega, kasian.” Kataku.

Sedikit kecewa, kakakku pergi sambil berucap, “Mau kamu gatel-gatel, ih.” Diapun pergi.

Aku mengambil sapu lidi itu, ku goyang-goyangkan sehingga menghasilkan bunyi khasnya. Kucing yang sehat umumnya takut dengan suara khas sapu lidi yang digoyang, tapi kucing yang satu ini tidak. Ada apa?

Aku mulai mendekatinya, badannya cukup besar jika dibandingan kucing yang sering ku lihat. Matanya sesekali terbuka sayu, suaranya hampir tak terdengar, gerakknya lemah. Anehnya, bagian kepalanya meyakinkanku bahwa kucing ini sudah tua tepatnya lansia, ubanan.

Untuk sementara aku mengalah. Aku sholat maghrib dengan mukena lain dan sajadah lain di ruang baca, kucing itu ku biarkan menang atas tempat tidurku saat ini. Usai sholat, saatnya mengusir si kucing dengan hormat, tak lupa mengambil fotonya sebagai bukti ceritaku, he.

Aku menuju dapur, memeriksa makanan yang kira-kira bisa memancing si kucing lansia itu keluar. Ternyata ada ikan goreng, tepat! Aku mengambil bagian kepalanya  dan diurap bersama sedikit nasi, kira-kira cukup mengenyangkan bagi si kucing. Jadilah ‘nasi campur’.

Aku bergegas ke kamar, menggerak-gerakkkan tanganku yang masih bau ikan di hadapan hidungnya. “Si, si, si.” Si kucing masih diam. “Si..”

“Meeow.” Bisikannya benar-benar tak terdengar, tapi mulutnya bergerak lebar, he, kucingnya berpantomim. Dia mulai mengangkat tubuhnya dan perlahan turun dari tempat tidurku. Dia membuntutiku. Aku membawa ‘nasi campur’ tadi ke luar rumah. Sesampai di dekat gerbang, akupun meletakkannya, lumayan gelap. Si kucing makan dengan lahap. Aku duduk di hadapannya.

“Kucing, maaf aku tak menyentuhmu sedikitpun, bukan karena apa, aku hanya menjaga diriku karena kamu kotor. Jika aku tua nanti, adakah orang yang akan merawatku?” Diam sejenak.

“Kucing, dimana anak-anakmu? Kenapa kalian gak sama2 aja? Kamu kan sudah lansia? Bagaimana kalau aku tua nanti, apakah anak-anakku akan menemaniku?” Si kucing masih asyik dengan makanannya.

“Kucing, bagaimana cara kamu minta tolong, sedangkan suara kamu sudah hampir habis untuk mempertahankan hidup? Adakah orang yang mendengarku jika nanti aku meminta tolong saat lemahnya keadaanku?” Si kucing tak peduli.

“Kucing, aku gak tega ngusir kamu karena kamu lansia, bagaimana jika nanti aku diusir saat akau lansia, kemana aku harus pergi?” Makanannya hampir habis.

“Maaf kucing, aku tidak bisa menemanimu lebih lama.” Aku bangkit, lalu bertolak ke dalam rumah, si kucing masih lahap menikmati makan malamnya.
***
“Ya Allah, jika umur ini Kau panjangkan, maka beri kami semangat untuk terus beribadah padaMu. Baikkan keadaan hidup kami, kokohkan ukhuwah kami agar tak ada kami yang terlantar di masa tua.

Ya Allah. Kama tadinu tudan. Jadikan kami anak-anak yang menjaga orang tuanya dengan baik sehingga kelak kamipun diperlakuan baik oleh anak-anak kami. Aamin. Sesungguhnya Engkau yang maha setia.”
***

Everytime, I Miss You

23 Mei 2014..

“Hahaha…” Suara tawa lepas dari tiga lelaki paruh baya, salah satunya adalah ayahku. Ketiganya telihat begitu bahagia. Aku tak tau bagaimana menikmati waktuku sendiri saat itu, sebagai satu-satunya wanita yang duduk diantara mereka, hanya menghabiskan waktu dengan memandangi ketiga lelaki yang ada di hadapanku saat ini.


Teh hangat yang masih mengepul dan sesisir pisang yang sangat manis. Aku sesekali tersenyum seolah ikut larut dalam perbincangan itu. Sebagian besar adalah kisah masa lalu ayah yang tentu menyenangkan untuk dikenang kembali.


“Nak,” Pak Abdul yang duduk di sebelah kiri melirikku, “Aku ini loh yang dulu jadi mak comblang ibumu sama ayahmu. Kalau ibumu mau kirim surat ke ayahmu, beliau selalu memberi uang rokok, ya seribu rupiah, tapi hampir empat puluh tahun lalu uang sejumlah itu masih terbilang banyak, seharga satu bungkus rokok sekarang. Ibumu kan sudah jahit dari masih gadis, sudah pinter nyari uang.”

Aku tersenyum bangga, ayahpun pasti merah merona, hanya saja kulit coklat itu menutup warna yang sedang singgah saat ini. Ayah, aku masih tersenyum.

“Saya sama ayahmu ini sahabat dekat. Saya senang sekali tau kabar bahwa ayah dan ibumu akhirnya jodoh, berhasil rasanya saya jadi mak comblang.” Ayah semakin tersipu mendengar sahabatnya berkata seperti iu.

“Tapi Allah memanggil ibumu lebih dulu, semoga ibumu selamat dalam kuburnya. Cepat sekali beliau diminta pulang oleh pemiliknya.” Kini terlihat gurat sedih pada wajah pak Abdul. Ayah diam, akupun begitu.

Kali ini senyumku tak lagi mau tampak. Hatiku bertikai dengan air mata yang terus mendesak keluar, sedangkan aku tak ingin tiga lelaki paruh baya ini melihatku sebagai orang yang cengeng dan meratapi kepergian ibuku. Itu bukan aku.

“Sudah berapa lama jadinya ibumu pergi, Nak?” Tanya beliau.

“Ya?” Aku sengaja tak mendengarnya, padahal aku belum sanggup bicara lebih panjang karena sesak yang masih saja menggelayut berat.

“Sudah berapa lama ibumu pergi?”

“Enam bulan, Pak.” Kali ini aku berhasil menjawabnya. Aku terus menahan keinginan yang sejatinya tak ingin ku kabulkan sekarang. Perasaan sedih, rindu, dan sayang pada ibu yang begitu cepat meninggalkan kami. Allah begitu percaya kalau kami sudah bisa hidup tanpa ibu.
***
Enam bulan lalu..

Setelah seminggu panas ibu tak kunjung turun. Aku memaksa ayah untuk membawa ibu ke rumah sakit. Malam itupun kami berangkat ke rumah sakit swasta langganan ibu. Ibu senang di rumah sakit itu, pelayanan dan fasilitasnya memuaskan. Kami memilihkan kamar terbaik untuk ibu meskipun harganya juga tinggi.

Sejak malam pertama hingga malam keenam, kondisi ibu naik turun, belum stabil, hingga keputusasaan itu membayang di setiap jarak pandangku. Ayahpun terlihat seperti itu, tapi kami terus memotivasi diri dan ibu bahwa ibu akan sembuh.

Sakit yang berawal dari mag, lalu stroke sejak dua tahun lalu. Semakin membaiknya keadaan ibu tak lantas memuluskan jalan ibu untuk sembuh, justru beliau sering demam di keadaan stroke beliau yang membaik, demam kali ini yang tak kunjung reda.

Aku seorang mahasiswi dengan jadwal yang masih padat, hanya bisa menemani ibu saat pulang kuliah hingga larut malam, lalu pulang ke rumah dan esok paginya kuliah lagi, begitu seterusnya hingga malam keenam aku memutuskan untuk menginap di rumah sakit. Aku mendampingi ibu yang terus mengigau tak jelas, melantunkan ayat Al-Qur’an juga hampir tak jelas, hingga akupun tertidur di samping ranjang ibu menjelang subuh.

Pukul sembilan ibu baru bangun. Aku menyuapi beliau sarapan, setelah itu memberi ibu minum dengan sendok dan membisiki beliau untuk minum obat. Baru dua sendok air itu masuk, terdengar seperti dengkuran dari leher ibu. Aku mendekatkan telingaku perlahan, airnya tidak ditelan. Aku memanggil ibu, beliau masih bisa menyahut meski sangat lemah. Aku mulai panik dan memberitahu ayah.

Dokter segera datang. Kami mendampingi ibu diperiksa, lalu terakhir datanglah malaikat menjemput ibu. Sepilah. Selamat jalan ibu, obat itu teronggok kaku belum sempat diminum. Selamat jalan, semoga penyakit itu menjadi perantara pengampunan dosa dan menaikkan derajatmu disisiNya. Anakmu selalu merindukanmu di sini. Tunggu aku di sana, Ibu. Ibu adalah sosok penasehat yang tidak pernah menggurui, namun mengajarkan dengan kasih sayang.
***

Enam bulan berlalu, aku bersyukur Allah selalu menghadirkan ibu dalam mimpi indahku. Semoga beliaupun bahagia di alamnya saat ini. Aamiin.
***

 كُلُّ نَفْسٍ ذَآئِقَةُ اْلمـَوْتِ
 Setiap yang berjiwa akan merasakan mati. [QS. Ali Imran/3: 185, al-Anbiya’/21: 35 dan al-Ankabut/29: 57].

Belajarlah untuk Masa Lalumu

“Bersungguh-sungguhlah demi masa depanmu!”
“Belajarlah untuk kesuksesanmu nanti!”
“Kejarlah masa depanmu!”

Sederet motivasi yang berbau perintah ataupun ajakan seperti di atas sudah sangat familiar terdengar, terutama di kalangan anak muda yang masih bercocok tanam pada ladang ilmu. Mereka memimpikan masa depan cerah yang belum terbayangkan secerah apakah itu, mengejar kesuksesan yang entah kesuksesan manakah yang dimaksudnya itu.

Terkadang orang begitu terlena dengan usia, merasa masih muda dan selalu muda. Mereka tidak sadar sudah berapa banyak orang-orang di sekelilingnya yang mulai menunjukkan diri, bermunculan seperti kemunculan tunas bunga, dari ketiadaan menjadi ada, dari biji, bunga yang kuncup, mekar perlahan, lalu bersemi dengan mekar yang sempurna, disanalah titik puncak kenikmatan dunia yang dapat melenakan, menganggapnya bersemi sepanjang musim, padahal waktu tidak pernah diam. Ada saat dimana bunga-bunga baru bermunculan lalu tersingkirlah si bunga lain yang lebih dulu mekar, perlahan dan tanpa perlawanan, si bungapun layu dan jatuh, hingga ia menyatu dengan tanah. Begitulah, manusia tak mesti jaya setiap waktu, ada waktu dimana ia akan renta, tergeser oleh generasi yang lebih muda dan lebih kuat, lalu si rentapun dipanggil oleh pemiliknya dan menyatulah dengan muasalnya.

“Lalu, masih adakah masa depan dunia itu?”
“Tidak! Dia telah lenyap.” Ya, mungkin tanpa kita sadari dan penyesalanpun bercumbu dengan tanah.
“Lalu apa yang bisa kita usahakan?”

Berbuatlah sesuatu detik ini sebagai hadiah masa lalu untuk masa depanmu. Baik saat ini, tentu karena usaha baik kita di masa lalu. Buruk saat ini, tentu karena usaha buruk kita dimasa lalu, kecuali takdir Tuhan yang tak bisa dipikirkan oleh sebab akibat usaha manusia. Lalu sudahkah kita bersyukur dengan belajar untuk masa lalu kita?

“Belajar untuk masa lalu?”
“Ya, masa lalu.”

Satu tahun yang lalu adalah masa lalu, satu bulan lalu adalah masa lalu satu minggu, satu hari, satu jam, satu menit, bahkan stu detik yang lalu adalah masa lalu. Sekarang adalah masa lalu untuk detik berikutnya, satu jam, satu hari, satu bulan, dan satu tahun kedepan adalah masa lalu untuk waktu selanjutnya.

“Apa yang kamu kerjakan dan dapatkan sekarang adalah cerminan masa lalumu.”

Sederhananya, siapa kamu saat ini, adalah hasil dari masa lalumu, dan seperti apa kamu ingin diingat nanti, maka berbuatlah detik ini, karena detik ini akan menjadi masa lalumu. Diingat oleh siapa? Minimal oleh diri kita ketika menghadiahi diri dengan masa lalu, bernostalgia dengan aktifitas terdahulu, bukankah itu indah?

Masih ada hari esok. Terkadang sifat menunda-nunda memang tidak bisa dipungkiri lalu penyesalan datang diakhir, dan nihillah persiapan hadiah masa lalu itu. Kita akan terlambat jika menunggu hari esok. Maka sebelum semuanya terlambat tanpa dunia turut berbelasungkawa, mari berpikir sejenak dan berdirilah sebagai pribadi detik ini dengan pengalaman hidup beratus ribu detik silam. Kita saat ini mungkin saja merupakan cita-cita kita dimasa lalu. Siapakah kita masa ini dengan sederet kisah hidup masa lalu? Sudahkah kita menghadiahi diri kita saat ini dengan diri kita saat dahulu? Hadiah seperti apakah itu? Berupa apakah? Sudahkah kita menjadi apa yang kita impikan dimasa lalu? Atau justru bukan siapa-siapa? Jika ia, maka itu indikasi bahwa ke depan kita tidaklah kecuali menjadi orang kebanyakan. Sebelum kita dibuntuti masa lalu biasa yang berkepanjangan, lejitkan segala potensi detik ini untuk menjadikannya masa lalu yang luar biasa. Masa lalu yang luar biasa untuk masa kini yang luar biasa pula sama dengan masa kini yang luar biasa untuk masa depan yang luar biasa.Kesimpulannya, posisikan diri kita pada detik ini dan lihatlah siapa kita dimasa lalu, lalu posisikan diri kita pada detik ini dan terkalah siapa kita dimasa depan, tentu semua itu melihat dari semaksimal apa kita berkontribusi untuk diri dan sekitar kita, dan pastinya terus berdo’a!

“Jika masa lalu yang ‘dulu’ tidak bisa diubah, ada masa lalu ‘saat ini’ yang masih bisa diusahakan. Detik ini adalah masa lalu bagi masa depanmu!”

Aku Ingin Sendiri Dulu

“Aku ingin sendiri dulu.”

Begitulah ucap wanita pada umumnya bersama isak tangis yang tak kunjung mereda jika hatinya sedang terluka. Bukan berarti dia tak ingin berbagi, justru itu cara pertama dia membagi kesedihan dan segala perasaannya saat itu.

Terkadang, segala keterlanjuran terjadi bukan karena keinginan sepenuhnya, melainkan karena rapuhnya hati untuk menolak sesuatu yang dianggapnya tak layak. Dia memang memiliki hati yang bisa menolak, tapi lisan tak cukup kuat untuk berteriak. Perasaannya sebagai wanita begitu kuat, sehingga berat baginya melihat muka masam orang lain ataupun air mata yang tersebab dia. Hanya penyesalan yang kemudian meraksasa disetiap arah pandangnya.

Jangan tinggalkan aku

Itulah bahasa kedua yang ingin diungkapkan dari singkatnya ucapan di atas. Perasaan hati yang ingin dipeluk hangat agar ia tidak merasa sendiri setelah sementara waktu dia mencoba menenangkan hati dan pikirannya, setelah puas air mata menyejukkan kelopak matanya. Dia butuh tempat saat hatinya sendiri menolaknya. Dia butuh telinga orang lain setidaknya terdengar segala gulana yang masih memburunya.

Malam menjadi syahdu saat bulirnya kembali jatuh di hadapan Sang Pemilik hati. Baginya, Allahlah tempat paling nyaman dan bebas mengeluh dan berdo’a. meminta ampun pada Sang Maha Perkasa atas kerapuhan diri dan hatinya.

Maka, biarlah berkata, “Aku ingin sendiri dulu” untuk bisa menopang kembali jiwa dan raganya.

@Tiada yang lebih peduli selain Yang Maha Peduli

_Hati yang rapuh

Lelaki Bersarung Merah

Berawal dari sebuah warna yang tak pernah aku favoritkan, kecuali bersanding dengannya warna putih, maksudku merah putih, bendera itu. Aku sangat suka merah jika bersama putih, atau putih saja, tapi bukan merah saja. Bagiku merah itu terlalu mengganggu pandangan dimusim panas kala terik menarik jatuh keringatku. Bagiku juga, merah itu mengerikan kala hujan memancing kilatan dan gemuruh, tapi dari warna inilah sebuah perjalanan sederhana ku mulai.

Pagi itu di awal Desember, hujan sedang gencar-gencarnya mengintai jemuran dan menyamarkan lubang-lubang jalan. Persis seperti sebuah sinetron, aku mengendarai motor maticku ke kampus dengan terburu-buru hingga tak pedulikan apa, siapa, dan bagaimana keadaan di sekitarku, aku lupa bagaimana kronologinya, tapi seorang bersarung hijau tiba-tiba meneriakiku hingga berhasil membuat ban motorku menghentikan lajunya. Aku menoleh ke arah suara.

“He, tanggung jawab!” Teriak lelaki bersarung hijau. Aku melihat lelaki bersarung merah berbicara padanya, entah apa yang disampaikannya, aku hanya melihat gerak bibir dan ekspresinya karena jarakku dengan kedua lelaki itu kira-kira sebelas meter.

Mendengar kata-kata tanggung jawab, lantas akupun memutar arah dan melupakan sejenak tentang jam kuliahku. Tentu saja, karena aku tak ingin dikatakan tidak bertanggung jawab.

“Tanggung jawab apa,Pak? Saya gak nyerepet.” Aku membela diri.

“Kamu memang gak nyerepet, tapi lihat donk ada air tuh, jalannya pelan-pelan. Pakaian teman saya jadi kotor, kecipratan!” Kata lelaki bersarung hijau.

“Teman bapak aja gak protes, kok bapak yang ngotot?” Tanyaku sedikit kesal.

“Maaf, teman saya ini jarang mau ngladenin cewek kayak kamu.”

  Mendengar kata-kata itu, aku sedikit naik darah, memang aku cewek apa? “Kalo gitu, bagaimana? Mau aku cucikan? Sini lepas, biar aku bawain ke laundry!” Kataku.

“Gak mungkinlah. Ini kan pinggir jalan.” Jawab lelaki bersarung hijau.

“Makanya jangan asal ngomel kalo gak punya solusi.” Jengkel.

“Maaf, gak apa-apa, ini cuma air tanah, nanti juga hilang kalo direndem, pergi aja, kayaknya mau kuliah, pasti sudah telat.” Komentar lelaki bersarung merah.

Aku tertegun dengan bahasanya yang sopan dan ekspresinya yang bersahabat, begitu kontras dengan lelaki bersarung hijau itu. Akupun berterima kasih lalu pamit.
***

Hari berlalu. Ternyata aku dihantui rasa bersalah karena bersikap begitu dingin padanya, meminta maafpun tidak. Setiap melewati jalan itu, jalan di dekat kampusku, ingatanku jelas, ingat itulah yang kemudian meng-habit hingga membuatku merindukannya. Jika mengaitkannya dengan kisah kerudung merah, bagiku rinduku adalah modifikasi gangguan srigala itu, bedanya, ini gangguan yang tidak menyamankan tapi diharapkan kedatangannya, namun sayang sejak hari itu aku tak pernah lagi melihatnya. Oh, srigala? Rindu dari merah pertama yang menghantuiku.
***

Tepat pagi akhir dibulan Desember, aku mengerem motorku sekitar lima meter di depan lelaki yang dulu bersarung hijau, kali ini dia bersarung putih kotak-kotak. Ketika dia melihatku, dia langsung menghentikan langkahnya, tampaknya dia masih ingat denganku. Aku lihat satu kitab Shahih Muslim bertengger di antara tangan kanan dan dadanya.

“Assalamualaikum.” Salamku.

“Wa’alaikumussalam.”

“Mana teman bapak yang kemarin pakai sarung merah?” Tanyaku.

“Kemarin?” Tampak bingung.

“Maksudku yang waktu itu kecipratan gara-gara aku.”

“Oh, Zaky.” Jawabnya pendek.

“Iya kali, Pak.”

“Tolong jangan panggil bapak. Aku masih mahasiswa STKIP juga, mungkin kita beda jurusan.” Paparnya.

“Maaf. Iya dia dimana?” Tanyaku.

“Dia sedang dirawat di RS Selong, sudah empat hari, kemarin panasnya tinggi sekali. Tapi sekarang udah baikan. Infusnya juga baru dilepas katanya waktu ku telpon.”

Mendengar jawaban itu, tiba-tiba hatiku menjadi gundah, padahal aku baru pertama kali bertemu saat itu. Namun kini, bukan perasaan bersalah yang ku rasakan, bukan perasaan seperti beberapa minggu lalu, melainkan metamorphosis rasa, dari ulat yang mengerikan, dari cipratan kotor lalu menjadi kupu-kupu, menjelma cipratan rindu yang berwarna kemerahan.

“Kenapa diem?” Tanyanya padaku.

“Gak ada. Boleh aku jenguk? Aku mau minta maaf. Waktu itu aku diburu kuliahku, jadi gak bisa lama-lama. Nanti sore sepulang kuliah ya?”

“Bisa. Oya, namaku Yayan. Ini nomorku, nanti sms aja.”
***

Aku sudah berada disamping Zaky sejak lima belas menit yang lalu, hujan memaksaku menunggu lumayan lama di kampus sebelum akhirnya menerobos gerimis itu hingga aku bisa merasakan posisi nyamanku saat ini.

“Maaf ya waktu itu. Aku pengen banget minta maaf dari kemarin, tapi kita gak pernah ketemu lagi, sampai akhirnya tadi pagi aku liat Yayan dan tanya tentang kamu ke dia.” Zaky hanya tersenyum. Azan maghrib berkumandang. Kami diam. Yayan keluar sholat ke masjid.

“Aku ingin sholat berdiri.” Zaky meminta adik perempuannya untuk membantunya bangun.

“Apa kak Zaky kuat?” Tanya adiknya. Melihat ekspresi Zaky yang begitu ingin, akhirnya dia membiarkannya. Zaky bertayammum dan mengenakan sarung merahnya yang pernah menjadi korban laju motorku. Aku tersenyum, begitu aneh, tiba-tiba aku menjadi sangat senang dengan warna merah.

Dalam sujud dirakaat terakhirku, aku berdo’a dalam hatiku, “Ya Allah ya Rahman, Engkau Yang Maha Cinta, Yang Menciptakan Warna Merah, Engkau yang memerahkan hati dengan kasat dan tersirat, pintaku, jika dia baik, jadikan dia imam abadiku, dan jadikan aku makmum yang baik untuknya. Amin”
____END___