Berawal dari sebuah warna yang tak pernah aku favoritkan, kecuali bersanding dengannya warna putih, maksudku merah putih, bendera itu. Aku sangat suka merah jika bersama putih, atau putih saja, tapi bukan merah saja. Bagiku merah itu terlalu mengganggu pandangan dimusim panas kala terik menarik jatuh keringatku. Bagiku juga, merah itu mengerikan kala hujan memancing kilatan dan gemuruh, tapi dari warna inilah sebuah perjalanan sederhana ku mulai.
Pagi itu di awal Desember, hujan sedang gencar-gencarnya mengintai jemuran dan menyamarkan lubang-lubang jalan. Persis seperti sebuah sinetron, aku mengendarai motor maticku ke kampus dengan terburu-buru hingga tak pedulikan apa, siapa, dan bagaimana keadaan di sekitarku, aku lupa bagaimana kronologinya, tapi seorang bersarung hijau tiba-tiba meneriakiku hingga berhasil membuat ban motorku menghentikan lajunya. Aku menoleh ke arah suara.
“He, tanggung jawab!” Teriak lelaki bersarung hijau. Aku melihat lelaki bersarung merah berbicara padanya, entah apa yang disampaikannya, aku hanya melihat gerak bibir dan ekspresinya karena jarakku dengan kedua lelaki itu kira-kira sebelas meter.
Mendengar kata-kata tanggung jawab, lantas akupun memutar arah dan melupakan sejenak tentang jam kuliahku. Tentu saja, karena aku tak ingin dikatakan tidak bertanggung jawab.
“Tanggung jawab apa,Pak? Saya gak nyerepet.” Aku membela diri.
“Kamu memang gak nyerepet, tapi lihat donk ada air tuh, jalannya pelan-pelan. Pakaian teman saya jadi kotor, kecipratan!” Kata lelaki bersarung hijau.
“Teman bapak aja gak protes, kok bapak yang ngotot?” Tanyaku sedikit kesal.
“Maaf, teman saya ini jarang mau ngladenin cewek kayak kamu.”
Mendengar kata-kata itu, aku sedikit naik darah, memang aku cewek apa? “Kalo gitu, bagaimana? Mau aku cucikan? Sini lepas, biar aku bawain ke laundry!” Kataku.
“Gak mungkinlah. Ini kan pinggir jalan.” Jawab lelaki bersarung hijau.
“Makanya jangan asal ngomel kalo gak punya solusi.” Jengkel.
“Maaf, gak apa-apa, ini cuma air tanah, nanti juga hilang kalo direndem, pergi aja, kayaknya mau kuliah, pasti sudah telat.” Komentar lelaki bersarung merah.
Aku tertegun dengan bahasanya yang sopan dan ekspresinya yang bersahabat, begitu kontras dengan lelaki bersarung hijau itu. Akupun berterima kasih lalu pamit.
***
Hari berlalu. Ternyata aku dihantui rasa bersalah karena bersikap begitu dingin padanya, meminta maafpun tidak. Setiap melewati jalan itu, jalan di dekat kampusku, ingatanku jelas, ingat itulah yang kemudian meng-habit hingga membuatku merindukannya. Jika mengaitkannya dengan kisah kerudung merah, bagiku rinduku adalah modifikasi gangguan srigala itu, bedanya, ini gangguan yang tidak menyamankan tapi diharapkan kedatangannya, namun sayang sejak hari itu aku tak pernah lagi melihatnya. Oh, srigala? Rindu dari merah pertama yang menghantuiku.
***
Tepat pagi akhir dibulan Desember, aku mengerem motorku sekitar lima meter di depan lelaki yang dulu bersarung hijau, kali ini dia bersarung putih kotak-kotak. Ketika dia melihatku, dia langsung menghentikan langkahnya, tampaknya dia masih ingat denganku. Aku lihat satu kitab Shahih Muslim bertengger di antara tangan kanan dan dadanya.
“Assalamualaikum.” Salamku.
“Wa’alaikumussalam.”
“Mana teman bapak yang kemarin pakai sarung merah?” Tanyaku.
“Kemarin?” Tampak bingung.
“Maksudku yang waktu itu kecipratan gara-gara aku.”
“Oh, Zaky.” Jawabnya pendek.
“Iya kali, Pak.”
“Tolong jangan panggil bapak. Aku masih mahasiswa STKIP juga, mungkin kita beda jurusan.” Paparnya.
“Maaf. Iya dia dimana?” Tanyaku.
“Dia sedang dirawat di RS Selong, sudah empat hari, kemarin panasnya tinggi sekali. Tapi sekarang udah baikan. Infusnya juga baru dilepas katanya waktu ku telpon.”
Mendengar jawaban itu, tiba-tiba hatiku menjadi gundah, padahal aku baru pertama kali bertemu saat itu. Namun kini, bukan perasaan bersalah yang ku rasakan, bukan perasaan seperti beberapa minggu lalu, melainkan metamorphosis rasa, dari ulat yang mengerikan, dari cipratan kotor lalu menjadi kupu-kupu, menjelma cipratan rindu yang berwarna kemerahan.
“Kenapa diem?” Tanyanya padaku.
“Gak ada. Boleh aku jenguk? Aku mau minta maaf. Waktu itu aku diburu kuliahku, jadi gak bisa lama-lama. Nanti sore sepulang kuliah ya?”
“Bisa. Oya, namaku Yayan. Ini nomorku, nanti sms aja.”
***
Aku sudah berada disamping Zaky sejak lima belas menit yang lalu, hujan memaksaku menunggu lumayan lama di kampus sebelum akhirnya menerobos gerimis itu hingga aku bisa merasakan posisi nyamanku saat ini.
“Maaf ya waktu itu. Aku pengen banget minta maaf dari kemarin, tapi kita gak pernah ketemu lagi, sampai akhirnya tadi pagi aku liat Yayan dan tanya tentang kamu ke dia.” Zaky hanya tersenyum. Azan maghrib berkumandang. Kami diam. Yayan keluar sholat ke masjid.
“Aku ingin sholat berdiri.” Zaky meminta adik perempuannya untuk membantunya bangun.
“Apa kak Zaky kuat?” Tanya adiknya. Melihat ekspresi Zaky yang begitu ingin, akhirnya dia membiarkannya. Zaky bertayammum dan mengenakan sarung merahnya yang pernah menjadi korban laju motorku. Aku tersenyum, begitu aneh, tiba-tiba aku menjadi sangat senang dengan warna merah.
Dalam sujud dirakaat terakhirku, aku berdo’a dalam hatiku, “Ya Allah ya Rahman, Engkau Yang Maha Cinta, Yang Menciptakan Warna Merah, Engkau yang memerahkan hati dengan kasat dan tersirat, pintaku, jika dia baik, jadikan dia imam abadiku, dan jadikan aku makmum yang baik untuknya. Amin”
____END___
Tidak ada komentar :
Posting Komentar