23 Mei 2014..
“Hahaha…” Suara tawa lepas dari tiga lelaki paruh baya, salah satunya adalah ayahku. Ketiganya telihat begitu bahagia. Aku tak tau bagaimana menikmati waktuku sendiri saat itu, sebagai satu-satunya wanita yang duduk diantara mereka, hanya menghabiskan waktu dengan memandangi ketiga lelaki yang ada di hadapanku saat ini.
Teh hangat yang masih mengepul dan sesisir pisang yang sangat manis. Aku sesekali tersenyum seolah ikut larut dalam perbincangan itu. Sebagian besar adalah kisah masa lalu ayah yang tentu menyenangkan untuk dikenang kembali.
“Nak,” Pak Abdul yang duduk di sebelah kiri melirikku, “Aku ini loh yang dulu jadi mak comblang ibumu sama ayahmu. Kalau ibumu mau kirim surat ke ayahmu, beliau selalu memberi uang rokok, ya seribu rupiah, tapi hampir empat puluh tahun lalu uang sejumlah itu masih terbilang banyak, seharga satu bungkus rokok sekarang. Ibumu kan sudah jahit dari masih gadis, sudah pinter nyari uang.”
Aku tersenyum bangga, ayahpun pasti merah merona, hanya saja kulit coklat itu menutup warna yang sedang singgah saat ini. Ayah, aku masih tersenyum.
“Saya sama ayahmu ini sahabat dekat. Saya senang sekali tau kabar bahwa ayah dan ibumu akhirnya jodoh, berhasil rasanya saya jadi mak comblang.” Ayah semakin tersipu mendengar sahabatnya berkata seperti iu.
“Tapi Allah memanggil ibumu lebih dulu, semoga ibumu selamat dalam kuburnya. Cepat sekali beliau diminta pulang oleh pemiliknya.” Kini terlihat gurat sedih pada wajah pak Abdul. Ayah diam, akupun begitu.
Kali ini senyumku tak lagi mau tampak. Hatiku bertikai dengan air mata yang terus mendesak keluar, sedangkan aku tak ingin tiga lelaki paruh baya ini melihatku sebagai orang yang cengeng dan meratapi kepergian ibuku. Itu bukan aku.
“Sudah berapa lama jadinya ibumu pergi, Nak?” Tanya beliau.
“Ya?” Aku sengaja tak mendengarnya, padahal aku belum sanggup bicara lebih panjang karena sesak yang masih saja menggelayut berat.
“Sudah berapa lama ibumu pergi?”
“Enam bulan, Pak.” Kali ini aku berhasil menjawabnya. Aku terus menahan keinginan yang sejatinya tak ingin ku kabulkan sekarang. Perasaan sedih, rindu, dan sayang pada ibu yang begitu cepat meninggalkan kami. Allah begitu percaya kalau kami sudah bisa hidup tanpa ibu.
***
Enam bulan lalu..
Setelah seminggu panas ibu tak kunjung turun. Aku memaksa ayah untuk membawa ibu ke rumah sakit. Malam itupun kami berangkat ke rumah sakit swasta langganan ibu. Ibu senang di rumah sakit itu, pelayanan dan fasilitasnya memuaskan. Kami memilihkan kamar terbaik untuk ibu meskipun harganya juga tinggi.
Sejak malam pertama hingga malam keenam, kondisi ibu naik turun, belum stabil, hingga keputusasaan itu membayang di setiap jarak pandangku. Ayahpun terlihat seperti itu, tapi kami terus memotivasi diri dan ibu bahwa ibu akan sembuh.
Sakit yang berawal dari mag, lalu stroke sejak dua tahun lalu. Semakin membaiknya keadaan ibu tak lantas memuluskan jalan ibu untuk sembuh, justru beliau sering demam di keadaan stroke beliau yang membaik, demam kali ini yang tak kunjung reda.
Aku seorang mahasiswi dengan jadwal yang masih padat, hanya bisa menemani ibu saat pulang kuliah hingga larut malam, lalu pulang ke rumah dan esok paginya kuliah lagi, begitu seterusnya hingga malam keenam aku memutuskan untuk menginap di rumah sakit. Aku mendampingi ibu yang terus mengigau tak jelas, melantunkan ayat Al-Qur’an juga hampir tak jelas, hingga akupun tertidur di samping ranjang ibu menjelang subuh.
Pukul sembilan ibu baru bangun. Aku menyuapi beliau sarapan, setelah itu memberi ibu minum dengan sendok dan membisiki beliau untuk minum obat. Baru dua sendok air itu masuk, terdengar seperti dengkuran dari leher ibu. Aku mendekatkan telingaku perlahan, airnya tidak ditelan. Aku memanggil ibu, beliau masih bisa menyahut meski sangat lemah. Aku mulai panik dan memberitahu ayah.
Dokter segera datang. Kami mendampingi ibu diperiksa, lalu terakhir datanglah malaikat menjemput ibu. Sepilah. Selamat jalan ibu, obat itu teronggok kaku belum sempat diminum. Selamat jalan, semoga penyakit itu menjadi perantara pengampunan dosa dan menaikkan derajatmu disisiNya. Anakmu selalu merindukanmu di sini. Tunggu aku di sana, Ibu. Ibu adalah sosok penasehat yang tidak pernah menggurui, namun mengajarkan dengan kasih sayang.
***
Enam bulan berlalu, aku bersyukur Allah selalu menghadirkan ibu dalam mimpi indahku. Semoga beliaupun bahagia di alamnya saat ini. Aamiin.
***
كُلُّ نَفْسٍ ذَآئِقَةُ اْلمـَوْتِ
Setiap yang berjiwa akan merasakan mati. [QS. Ali Imran/3: 185, al-Anbiya’/21: 35 dan al-Ankabut/29: 57].
Tidak ada komentar :
Posting Komentar