Jreeng!!!
“Assalamualaikum warohmatullahi wabarokaatuh.” Versi Wendi, ABG Jadi Manten.
Rindu
Terobati dengan sebuah pertemuan
Terlukai lagi dengan sebuah perpisahan
Lalu haruskah kita tak memulai?
***
Sudah hampir empat tahun aku meninggalkan Abu Hurairah tercinta, sekolah yang menuntun sebagian usia remajaku. Setelah sekian lama disibukkan oleh aktifitas kampus yang padat, pagi ini coba kuputar lagi beberapa keping ingatan agar semua kesan itu bisa selalu disyukuri.
“Kemana ya sandal syaikhku?” itulah pertanyaan yang selalu hadir hingga detik ini. So, why? Tinggal dijawab aja kan, di sana atau di sini. Masalahnya tempetnya aja aku gak tau juga.
Dengan segala daya upaya kuusahakan -dramatis banget- agar sandal itu tetap bertahan meski dimakan usia –tambah lebay aja- , akhirnya tiada lagi jejaknya.
Mungkin setahun belakangan ini sandal Syaikh tak lagi tampak batang hidungnya –emangnya manusia?-. Padahal sandal itu begitu berharga. Mendapatkannya pun butuh pengorbanan hati. Kok bisa?
Ceritanya, di suatu sore aku dijemput paman untuk pulang karena mama jatuh sakit, padahal esok harinya Syaikh Dakhil akan datang ke asrama. Ingin sekali ku liat seorang bernama Syaikh Dakhil itu secara langsung, orang yang banyak berjasa untuk Abu Hurairah Tercinta. Kurang lebih seminggu lamanya aku dan teman-tema gak sabar menanti kehadiran beliau, ternyata Allah memintaku untuk pulang. Takdir. Lesu, lemah, lunglai.
“Ayo pulang.” Ajak paman dengan lemahnya.
Akupun melangkah dengan lemah juga. Ternyata penantianku berakhir tanpa perjumpaan dengan orang yang ditunggu. Akupun pulang, karena mama nomor satu. Meskipin berat juga langkahku meninggalkan asrama.
***
Balik ke Abu Hurairah setelah beberapa hari di rumah, sebuah bingkisan penuh diberikan oleh Hety padaku. “Ini ukh bagiannya dari Syaikh Dakhil.” Katanya bersemangat.
Aku tersenyum lalu berucap, “Jazakillah khair ya.” Padahal kalo bisa terima langsung saat syaikhnya di sini pasti berkesan banget.
Bingkisan itupun aku buka. Semua santri dapat bingkisan juga, dari SD sampai SMA. Untuk yang SMA, aku melihat isinya dari bingkisan yang aku peroleh. Ada gamis, sandal kodok, buku tulis, dan perlengkapan sekolah lainnya.
***
Hampir empat tahun berlalu, saat ini aku mahasiswi semester enam. Alat tulis tentu bisa habis karena dipakai. Gamis masih seringku pakai, tapi sandal, sandal yang berusaha ku jaga juga gak tau kemana. Dulu aku takut bawa keluar rumah. Mungkin karena kelalaian, hingga sekarang entah dimana benda itu berada. Warnanya biru, warna kesukaanku. Dipakainya juga nyaman. Uhuk-uhuk kangen banget, soalnya dapetinnya juga ‘begitu’ banget. Oh sandal Syaikhku, kemanakah kamu? Hanya ikhlas yang mampu membayarnya lunas.
Punya kalian masih ada gak?
Terobati dengan sebuah pertemuan
Terlukai lagi dengan sebuah perpisahan
Lalu haruskah kita tak memulai?
***
Sudah hampir empat tahun aku meninggalkan Abu Hurairah tercinta, sekolah yang menuntun sebagian usia remajaku. Setelah sekian lama disibukkan oleh aktifitas kampus yang padat, pagi ini coba kuputar lagi beberapa keping ingatan agar semua kesan itu bisa selalu disyukuri.
“Kemana ya sandal syaikhku?” itulah pertanyaan yang selalu hadir hingga detik ini. So, why? Tinggal dijawab aja kan, di sana atau di sini. Masalahnya tempetnya aja aku gak tau juga.
Dengan segala daya upaya kuusahakan -dramatis banget- agar sandal itu tetap bertahan meski dimakan usia –tambah lebay aja- , akhirnya tiada lagi jejaknya.
Mungkin setahun belakangan ini sandal Syaikh tak lagi tampak batang hidungnya –emangnya manusia?-. Padahal sandal itu begitu berharga. Mendapatkannya pun butuh pengorbanan hati. Kok bisa?
Ceritanya, di suatu sore aku dijemput paman untuk pulang karena mama jatuh sakit, padahal esok harinya Syaikh Dakhil akan datang ke asrama. Ingin sekali ku liat seorang bernama Syaikh Dakhil itu secara langsung, orang yang banyak berjasa untuk Abu Hurairah Tercinta. Kurang lebih seminggu lamanya aku dan teman-tema gak sabar menanti kehadiran beliau, ternyata Allah memintaku untuk pulang. Takdir. Lesu, lemah, lunglai.
“Ayo pulang.” Ajak paman dengan lemahnya.
Akupun melangkah dengan lemah juga. Ternyata penantianku berakhir tanpa perjumpaan dengan orang yang ditunggu. Akupun pulang, karena mama nomor satu. Meskipin berat juga langkahku meninggalkan asrama.
***
Balik ke Abu Hurairah setelah beberapa hari di rumah, sebuah bingkisan penuh diberikan oleh Hety padaku. “Ini ukh bagiannya dari Syaikh Dakhil.” Katanya bersemangat.
Aku tersenyum lalu berucap, “Jazakillah khair ya.” Padahal kalo bisa terima langsung saat syaikhnya di sini pasti berkesan banget.
Bingkisan itupun aku buka. Semua santri dapat bingkisan juga, dari SD sampai SMA. Untuk yang SMA, aku melihat isinya dari bingkisan yang aku peroleh. Ada gamis, sandal kodok, buku tulis, dan perlengkapan sekolah lainnya.
***
Hampir empat tahun berlalu, saat ini aku mahasiswi semester enam. Alat tulis tentu bisa habis karena dipakai. Gamis masih seringku pakai, tapi sandal, sandal yang berusaha ku jaga juga gak tau kemana. Dulu aku takut bawa keluar rumah. Mungkin karena kelalaian, hingga sekarang entah dimana benda itu berada. Warnanya biru, warna kesukaanku. Dipakainya juga nyaman. Uhuk-uhuk kangen banget, soalnya dapetinnya juga ‘begitu’ banget. Oh sandal Syaikhku, kemanakah kamu? Hanya ikhlas yang mampu membayarnya lunas.
Punya kalian masih ada gak?
Tidak ada komentar :
Posting Komentar