“Bersungguh-sungguhlah demi masa depanmu!”
“Belajarlah untuk kesuksesanmu nanti!”
“Kejarlah masa depanmu!”
Sederet motivasi yang berbau perintah ataupun ajakan seperti di atas sudah sangat familiar terdengar, terutama di kalangan anak muda yang masih bercocok tanam pada ladang ilmu. Mereka memimpikan masa depan cerah yang belum terbayangkan secerah apakah itu, mengejar kesuksesan yang entah kesuksesan manakah yang dimaksudnya itu.
Terkadang orang begitu terlena dengan usia, merasa masih muda dan selalu muda. Mereka tidak sadar sudah berapa banyak orang-orang di sekelilingnya yang mulai menunjukkan diri, bermunculan seperti kemunculan tunas bunga, dari ketiadaan menjadi ada, dari biji, bunga yang kuncup, mekar perlahan, lalu bersemi dengan mekar yang sempurna, disanalah titik puncak kenikmatan dunia yang dapat melenakan, menganggapnya bersemi sepanjang musim, padahal waktu tidak pernah diam. Ada saat dimana bunga-bunga baru bermunculan lalu tersingkirlah si bunga lain yang lebih dulu mekar, perlahan dan tanpa perlawanan, si bungapun layu dan jatuh, hingga ia menyatu dengan tanah. Begitulah, manusia tak mesti jaya setiap waktu, ada waktu dimana ia akan renta, tergeser oleh generasi yang lebih muda dan lebih kuat, lalu si rentapun dipanggil oleh pemiliknya dan menyatulah dengan muasalnya.
“Lalu, masih adakah masa depan dunia itu?”
“Tidak! Dia telah lenyap.” Ya, mungkin tanpa kita sadari dan penyesalanpun bercumbu dengan tanah.
“Lalu apa yang bisa kita usahakan?”
Berbuatlah sesuatu detik ini sebagai hadiah masa lalu untuk masa depanmu. Baik saat ini, tentu karena usaha baik kita di masa lalu. Buruk saat ini, tentu karena usaha buruk kita dimasa lalu, kecuali takdir Tuhan yang tak bisa dipikirkan oleh sebab akibat usaha manusia. Lalu sudahkah kita bersyukur dengan belajar untuk masa lalu kita?
“Belajar untuk masa lalu?”
“Ya, masa lalu.”
Satu tahun yang lalu adalah masa lalu, satu bulan lalu adalah masa lalu satu minggu, satu hari, satu jam, satu menit, bahkan stu detik yang lalu adalah masa lalu. Sekarang adalah masa lalu untuk detik berikutnya, satu jam, satu hari, satu bulan, dan satu tahun kedepan adalah masa lalu untuk waktu selanjutnya.
“Apa yang kamu kerjakan dan dapatkan sekarang adalah cerminan masa lalumu.”
Sederhananya, siapa kamu saat ini, adalah hasil dari masa lalumu, dan seperti apa kamu ingin diingat nanti, maka berbuatlah detik ini, karena detik ini akan menjadi masa lalumu. Diingat oleh siapa? Minimal oleh diri kita ketika menghadiahi diri dengan masa lalu, bernostalgia dengan aktifitas terdahulu, bukankah itu indah?
Masih ada hari esok. Terkadang sifat menunda-nunda memang tidak bisa dipungkiri lalu penyesalan datang diakhir, dan nihillah persiapan hadiah masa lalu itu. Kita akan terlambat jika menunggu hari esok. Maka sebelum semuanya terlambat tanpa dunia turut berbelasungkawa, mari berpikir sejenak dan berdirilah sebagai pribadi detik ini dengan pengalaman hidup beratus ribu detik silam. Kita saat ini mungkin saja merupakan cita-cita kita dimasa lalu. Siapakah kita masa ini dengan sederet kisah hidup masa lalu? Sudahkah kita menghadiahi diri kita saat ini dengan diri kita saat dahulu? Hadiah seperti apakah itu? Berupa apakah? Sudahkah kita menjadi apa yang kita impikan dimasa lalu? Atau justru bukan siapa-siapa? Jika ia, maka itu indikasi bahwa ke depan kita tidaklah kecuali menjadi orang kebanyakan. Sebelum kita dibuntuti masa lalu biasa yang berkepanjangan, lejitkan segala potensi detik ini untuk menjadikannya masa lalu yang luar biasa. Masa lalu yang luar biasa untuk masa kini yang luar biasa pula sama dengan masa kini yang luar biasa untuk masa depan yang luar biasa.Kesimpulannya, posisikan diri kita pada detik ini dan lihatlah siapa kita dimasa lalu, lalu posisikan diri kita pada detik ini dan terkalah siapa kita dimasa depan, tentu semua itu melihat dari semaksimal apa kita berkontribusi untuk diri dan sekitar kita, dan pastinya terus berdo’a!
“Jika masa lalu yang ‘dulu’ tidak bisa diubah, ada masa lalu ‘saat ini’ yang masih bisa diusahakan. Detik ini adalah masa lalu bagi masa depanmu!”
Terkadang orang begitu terlena dengan usia, merasa masih muda dan selalu muda. Mereka tidak sadar sudah berapa banyak orang-orang di sekelilingnya yang mulai menunjukkan diri, bermunculan seperti kemunculan tunas bunga, dari ketiadaan menjadi ada, dari biji, bunga yang kuncup, mekar perlahan, lalu bersemi dengan mekar yang sempurna, disanalah titik puncak kenikmatan dunia yang dapat melenakan, menganggapnya bersemi sepanjang musim, padahal waktu tidak pernah diam. Ada saat dimana bunga-bunga baru bermunculan lalu tersingkirlah si bunga lain yang lebih dulu mekar, perlahan dan tanpa perlawanan, si bungapun layu dan jatuh, hingga ia menyatu dengan tanah. Begitulah, manusia tak mesti jaya setiap waktu, ada waktu dimana ia akan renta, tergeser oleh generasi yang lebih muda dan lebih kuat, lalu si rentapun dipanggil oleh pemiliknya dan menyatulah dengan muasalnya.
“Lalu, masih adakah masa depan dunia itu?”
“Tidak! Dia telah lenyap.” Ya, mungkin tanpa kita sadari dan penyesalanpun bercumbu dengan tanah.
“Lalu apa yang bisa kita usahakan?”
Berbuatlah sesuatu detik ini sebagai hadiah masa lalu untuk masa depanmu. Baik saat ini, tentu karena usaha baik kita di masa lalu. Buruk saat ini, tentu karena usaha buruk kita dimasa lalu, kecuali takdir Tuhan yang tak bisa dipikirkan oleh sebab akibat usaha manusia. Lalu sudahkah kita bersyukur dengan belajar untuk masa lalu kita?
“Belajar untuk masa lalu?”
“Ya, masa lalu.”
Satu tahun yang lalu adalah masa lalu, satu bulan lalu adalah masa lalu satu minggu, satu hari, satu jam, satu menit, bahkan stu detik yang lalu adalah masa lalu. Sekarang adalah masa lalu untuk detik berikutnya, satu jam, satu hari, satu bulan, dan satu tahun kedepan adalah masa lalu untuk waktu selanjutnya.
“Apa yang kamu kerjakan dan dapatkan sekarang adalah cerminan masa lalumu.”
Sederhananya, siapa kamu saat ini, adalah hasil dari masa lalumu, dan seperti apa kamu ingin diingat nanti, maka berbuatlah detik ini, karena detik ini akan menjadi masa lalumu. Diingat oleh siapa? Minimal oleh diri kita ketika menghadiahi diri dengan masa lalu, bernostalgia dengan aktifitas terdahulu, bukankah itu indah?
Masih ada hari esok. Terkadang sifat menunda-nunda memang tidak bisa dipungkiri lalu penyesalan datang diakhir, dan nihillah persiapan hadiah masa lalu itu. Kita akan terlambat jika menunggu hari esok. Maka sebelum semuanya terlambat tanpa dunia turut berbelasungkawa, mari berpikir sejenak dan berdirilah sebagai pribadi detik ini dengan pengalaman hidup beratus ribu detik silam. Kita saat ini mungkin saja merupakan cita-cita kita dimasa lalu. Siapakah kita masa ini dengan sederet kisah hidup masa lalu? Sudahkah kita menghadiahi diri kita saat ini dengan diri kita saat dahulu? Hadiah seperti apakah itu? Berupa apakah? Sudahkah kita menjadi apa yang kita impikan dimasa lalu? Atau justru bukan siapa-siapa? Jika ia, maka itu indikasi bahwa ke depan kita tidaklah kecuali menjadi orang kebanyakan. Sebelum kita dibuntuti masa lalu biasa yang berkepanjangan, lejitkan segala potensi detik ini untuk menjadikannya masa lalu yang luar biasa. Masa lalu yang luar biasa untuk masa kini yang luar biasa pula sama dengan masa kini yang luar biasa untuk masa depan yang luar biasa.Kesimpulannya, posisikan diri kita pada detik ini dan lihatlah siapa kita dimasa lalu, lalu posisikan diri kita pada detik ini dan terkalah siapa kita dimasa depan, tentu semua itu melihat dari semaksimal apa kita berkontribusi untuk diri dan sekitar kita, dan pastinya terus berdo’a!
“Jika masa lalu yang ‘dulu’ tidak bisa diubah, ada masa lalu ‘saat ini’ yang masih bisa diusahakan. Detik ini adalah masa lalu bagi masa depanmu!”
Tidak ada komentar :
Posting Komentar