- WELCOME TO MY BLOG

Senin, 05 Januari 2015

Si Kucing Lansia

Maghrib, 28 Mei 2014…

Aku baru saja sampai di rumah setelah mengikuti rapat organisasi di kampus. Setelah helm ku letakkan pada tempatnya, aku melangkah letih ke kamarku di ujung barat sebelah ruang baca. Aku menyingkap gorden berwarna krem itu, dan aku tak menyangka ada seekor kucing tengah menikmati tidurnya di atas pelengkapan sholat yang ku letakkan di ujung ranjang.

“Kak,” aku memanggil kakakku agar meilhat kucing itu, “Kenapa kucing itu bisa ada di situ? Kan kotor tuh. Coba lihat wajahnya sama kepalanya!” Kami memperhatikan kucing itu, sedangkan si kucing yang diperbincangkan masih tidur dengan pulas.

“Tadi siang sebelum kamu berangkat ke kampus kamu tutup pintu kan?” Tanya kakak balik.

“Iya.” Setelah itu kami saling pandang, “Pasti masuk lewat jendela.” Sambungku.

Kakakku bergegas mengambil sapu lidi, aku pun masuk kamar membiarkan kucing itu masih pulas di ujung ranjangku. Ku letakkan tas ranselku di atas meja belajar, dia masih nyaman, aku membuka lemari, dia juga masih pulas, dan saat ku tarik kursi di dekat meja belajarku, kucing itupun terbangun.

“Meeeow.” Suaranya seperti bisikan yang sangat kecil dan hampir tak terdengar. Kenapa justru tidak lari? Kan sudah ketangkep basah tidur di kamarku? Aku heran.

“Sreet.” Suara sibakan gorden. “Ini sapu lidinya. Cepat usir kucing itu!”Kata kakakku yang tidak suka pada kucing.

“Gak tega, kasian.” Kataku.

Sedikit kecewa, kakakku pergi sambil berucap, “Mau kamu gatel-gatel, ih.” Diapun pergi.

Aku mengambil sapu lidi itu, ku goyang-goyangkan sehingga menghasilkan bunyi khasnya. Kucing yang sehat umumnya takut dengan suara khas sapu lidi yang digoyang, tapi kucing yang satu ini tidak. Ada apa?

Aku mulai mendekatinya, badannya cukup besar jika dibandingan kucing yang sering ku lihat. Matanya sesekali terbuka sayu, suaranya hampir tak terdengar, gerakknya lemah. Anehnya, bagian kepalanya meyakinkanku bahwa kucing ini sudah tua tepatnya lansia, ubanan.

Untuk sementara aku mengalah. Aku sholat maghrib dengan mukena lain dan sajadah lain di ruang baca, kucing itu ku biarkan menang atas tempat tidurku saat ini. Usai sholat, saatnya mengusir si kucing dengan hormat, tak lupa mengambil fotonya sebagai bukti ceritaku, he.

Aku menuju dapur, memeriksa makanan yang kira-kira bisa memancing si kucing lansia itu keluar. Ternyata ada ikan goreng, tepat! Aku mengambil bagian kepalanya  dan diurap bersama sedikit nasi, kira-kira cukup mengenyangkan bagi si kucing. Jadilah ‘nasi campur’.

Aku bergegas ke kamar, menggerak-gerakkkan tanganku yang masih bau ikan di hadapan hidungnya. “Si, si, si.” Si kucing masih diam. “Si..”

“Meeow.” Bisikannya benar-benar tak terdengar, tapi mulutnya bergerak lebar, he, kucingnya berpantomim. Dia mulai mengangkat tubuhnya dan perlahan turun dari tempat tidurku. Dia membuntutiku. Aku membawa ‘nasi campur’ tadi ke luar rumah. Sesampai di dekat gerbang, akupun meletakkannya, lumayan gelap. Si kucing makan dengan lahap. Aku duduk di hadapannya.

“Kucing, maaf aku tak menyentuhmu sedikitpun, bukan karena apa, aku hanya menjaga diriku karena kamu kotor. Jika aku tua nanti, adakah orang yang akan merawatku?” Diam sejenak.

“Kucing, dimana anak-anakmu? Kenapa kalian gak sama2 aja? Kamu kan sudah lansia? Bagaimana kalau aku tua nanti, apakah anak-anakku akan menemaniku?” Si kucing masih asyik dengan makanannya.

“Kucing, bagaimana cara kamu minta tolong, sedangkan suara kamu sudah hampir habis untuk mempertahankan hidup? Adakah orang yang mendengarku jika nanti aku meminta tolong saat lemahnya keadaanku?” Si kucing tak peduli.

“Kucing, aku gak tega ngusir kamu karena kamu lansia, bagaimana jika nanti aku diusir saat akau lansia, kemana aku harus pergi?” Makanannya hampir habis.

“Maaf kucing, aku tidak bisa menemanimu lebih lama.” Aku bangkit, lalu bertolak ke dalam rumah, si kucing masih lahap menikmati makan malamnya.
***
“Ya Allah, jika umur ini Kau panjangkan, maka beri kami semangat untuk terus beribadah padaMu. Baikkan keadaan hidup kami, kokohkan ukhuwah kami agar tak ada kami yang terlantar di masa tua.

Ya Allah. Kama tadinu tudan. Jadikan kami anak-anak yang menjaga orang tuanya dengan baik sehingga kelak kamipun diperlakuan baik oleh anak-anak kami. Aamin. Sesungguhnya Engkau yang maha setia.”
***

Everytime, I Miss You

23 Mei 2014..

“Hahaha…” Suara tawa lepas dari tiga lelaki paruh baya, salah satunya adalah ayahku. Ketiganya telihat begitu bahagia. Aku tak tau bagaimana menikmati waktuku sendiri saat itu, sebagai satu-satunya wanita yang duduk diantara mereka, hanya menghabiskan waktu dengan memandangi ketiga lelaki yang ada di hadapanku saat ini.


Teh hangat yang masih mengepul dan sesisir pisang yang sangat manis. Aku sesekali tersenyum seolah ikut larut dalam perbincangan itu. Sebagian besar adalah kisah masa lalu ayah yang tentu menyenangkan untuk dikenang kembali.


“Nak,” Pak Abdul yang duduk di sebelah kiri melirikku, “Aku ini loh yang dulu jadi mak comblang ibumu sama ayahmu. Kalau ibumu mau kirim surat ke ayahmu, beliau selalu memberi uang rokok, ya seribu rupiah, tapi hampir empat puluh tahun lalu uang sejumlah itu masih terbilang banyak, seharga satu bungkus rokok sekarang. Ibumu kan sudah jahit dari masih gadis, sudah pinter nyari uang.”

Aku tersenyum bangga, ayahpun pasti merah merona, hanya saja kulit coklat itu menutup warna yang sedang singgah saat ini. Ayah, aku masih tersenyum.

“Saya sama ayahmu ini sahabat dekat. Saya senang sekali tau kabar bahwa ayah dan ibumu akhirnya jodoh, berhasil rasanya saya jadi mak comblang.” Ayah semakin tersipu mendengar sahabatnya berkata seperti iu.

“Tapi Allah memanggil ibumu lebih dulu, semoga ibumu selamat dalam kuburnya. Cepat sekali beliau diminta pulang oleh pemiliknya.” Kini terlihat gurat sedih pada wajah pak Abdul. Ayah diam, akupun begitu.

Kali ini senyumku tak lagi mau tampak. Hatiku bertikai dengan air mata yang terus mendesak keluar, sedangkan aku tak ingin tiga lelaki paruh baya ini melihatku sebagai orang yang cengeng dan meratapi kepergian ibuku. Itu bukan aku.

“Sudah berapa lama jadinya ibumu pergi, Nak?” Tanya beliau.

“Ya?” Aku sengaja tak mendengarnya, padahal aku belum sanggup bicara lebih panjang karena sesak yang masih saja menggelayut berat.

“Sudah berapa lama ibumu pergi?”

“Enam bulan, Pak.” Kali ini aku berhasil menjawabnya. Aku terus menahan keinginan yang sejatinya tak ingin ku kabulkan sekarang. Perasaan sedih, rindu, dan sayang pada ibu yang begitu cepat meninggalkan kami. Allah begitu percaya kalau kami sudah bisa hidup tanpa ibu.
***
Enam bulan lalu..

Setelah seminggu panas ibu tak kunjung turun. Aku memaksa ayah untuk membawa ibu ke rumah sakit. Malam itupun kami berangkat ke rumah sakit swasta langganan ibu. Ibu senang di rumah sakit itu, pelayanan dan fasilitasnya memuaskan. Kami memilihkan kamar terbaik untuk ibu meskipun harganya juga tinggi.

Sejak malam pertama hingga malam keenam, kondisi ibu naik turun, belum stabil, hingga keputusasaan itu membayang di setiap jarak pandangku. Ayahpun terlihat seperti itu, tapi kami terus memotivasi diri dan ibu bahwa ibu akan sembuh.

Sakit yang berawal dari mag, lalu stroke sejak dua tahun lalu. Semakin membaiknya keadaan ibu tak lantas memuluskan jalan ibu untuk sembuh, justru beliau sering demam di keadaan stroke beliau yang membaik, demam kali ini yang tak kunjung reda.

Aku seorang mahasiswi dengan jadwal yang masih padat, hanya bisa menemani ibu saat pulang kuliah hingga larut malam, lalu pulang ke rumah dan esok paginya kuliah lagi, begitu seterusnya hingga malam keenam aku memutuskan untuk menginap di rumah sakit. Aku mendampingi ibu yang terus mengigau tak jelas, melantunkan ayat Al-Qur’an juga hampir tak jelas, hingga akupun tertidur di samping ranjang ibu menjelang subuh.

Pukul sembilan ibu baru bangun. Aku menyuapi beliau sarapan, setelah itu memberi ibu minum dengan sendok dan membisiki beliau untuk minum obat. Baru dua sendok air itu masuk, terdengar seperti dengkuran dari leher ibu. Aku mendekatkan telingaku perlahan, airnya tidak ditelan. Aku memanggil ibu, beliau masih bisa menyahut meski sangat lemah. Aku mulai panik dan memberitahu ayah.

Dokter segera datang. Kami mendampingi ibu diperiksa, lalu terakhir datanglah malaikat menjemput ibu. Sepilah. Selamat jalan ibu, obat itu teronggok kaku belum sempat diminum. Selamat jalan, semoga penyakit itu menjadi perantara pengampunan dosa dan menaikkan derajatmu disisiNya. Anakmu selalu merindukanmu di sini. Tunggu aku di sana, Ibu. Ibu adalah sosok penasehat yang tidak pernah menggurui, namun mengajarkan dengan kasih sayang.
***

Enam bulan berlalu, aku bersyukur Allah selalu menghadirkan ibu dalam mimpi indahku. Semoga beliaupun bahagia di alamnya saat ini. Aamiin.
***

 كُلُّ نَفْسٍ ذَآئِقَةُ اْلمـَوْتِ
 Setiap yang berjiwa akan merasakan mati. [QS. Ali Imran/3: 185, al-Anbiya’/21: 35 dan al-Ankabut/29: 57].

Belajarlah untuk Masa Lalumu

“Bersungguh-sungguhlah demi masa depanmu!”
“Belajarlah untuk kesuksesanmu nanti!”
“Kejarlah masa depanmu!”

Sederet motivasi yang berbau perintah ataupun ajakan seperti di atas sudah sangat familiar terdengar, terutama di kalangan anak muda yang masih bercocok tanam pada ladang ilmu. Mereka memimpikan masa depan cerah yang belum terbayangkan secerah apakah itu, mengejar kesuksesan yang entah kesuksesan manakah yang dimaksudnya itu.

Terkadang orang begitu terlena dengan usia, merasa masih muda dan selalu muda. Mereka tidak sadar sudah berapa banyak orang-orang di sekelilingnya yang mulai menunjukkan diri, bermunculan seperti kemunculan tunas bunga, dari ketiadaan menjadi ada, dari biji, bunga yang kuncup, mekar perlahan, lalu bersemi dengan mekar yang sempurna, disanalah titik puncak kenikmatan dunia yang dapat melenakan, menganggapnya bersemi sepanjang musim, padahal waktu tidak pernah diam. Ada saat dimana bunga-bunga baru bermunculan lalu tersingkirlah si bunga lain yang lebih dulu mekar, perlahan dan tanpa perlawanan, si bungapun layu dan jatuh, hingga ia menyatu dengan tanah. Begitulah, manusia tak mesti jaya setiap waktu, ada waktu dimana ia akan renta, tergeser oleh generasi yang lebih muda dan lebih kuat, lalu si rentapun dipanggil oleh pemiliknya dan menyatulah dengan muasalnya.

“Lalu, masih adakah masa depan dunia itu?”
“Tidak! Dia telah lenyap.” Ya, mungkin tanpa kita sadari dan penyesalanpun bercumbu dengan tanah.
“Lalu apa yang bisa kita usahakan?”

Berbuatlah sesuatu detik ini sebagai hadiah masa lalu untuk masa depanmu. Baik saat ini, tentu karena usaha baik kita di masa lalu. Buruk saat ini, tentu karena usaha buruk kita dimasa lalu, kecuali takdir Tuhan yang tak bisa dipikirkan oleh sebab akibat usaha manusia. Lalu sudahkah kita bersyukur dengan belajar untuk masa lalu kita?

“Belajar untuk masa lalu?”
“Ya, masa lalu.”

Satu tahun yang lalu adalah masa lalu, satu bulan lalu adalah masa lalu satu minggu, satu hari, satu jam, satu menit, bahkan stu detik yang lalu adalah masa lalu. Sekarang adalah masa lalu untuk detik berikutnya, satu jam, satu hari, satu bulan, dan satu tahun kedepan adalah masa lalu untuk waktu selanjutnya.

“Apa yang kamu kerjakan dan dapatkan sekarang adalah cerminan masa lalumu.”

Sederhananya, siapa kamu saat ini, adalah hasil dari masa lalumu, dan seperti apa kamu ingin diingat nanti, maka berbuatlah detik ini, karena detik ini akan menjadi masa lalumu. Diingat oleh siapa? Minimal oleh diri kita ketika menghadiahi diri dengan masa lalu, bernostalgia dengan aktifitas terdahulu, bukankah itu indah?

Masih ada hari esok. Terkadang sifat menunda-nunda memang tidak bisa dipungkiri lalu penyesalan datang diakhir, dan nihillah persiapan hadiah masa lalu itu. Kita akan terlambat jika menunggu hari esok. Maka sebelum semuanya terlambat tanpa dunia turut berbelasungkawa, mari berpikir sejenak dan berdirilah sebagai pribadi detik ini dengan pengalaman hidup beratus ribu detik silam. Kita saat ini mungkin saja merupakan cita-cita kita dimasa lalu. Siapakah kita masa ini dengan sederet kisah hidup masa lalu? Sudahkah kita menghadiahi diri kita saat ini dengan diri kita saat dahulu? Hadiah seperti apakah itu? Berupa apakah? Sudahkah kita menjadi apa yang kita impikan dimasa lalu? Atau justru bukan siapa-siapa? Jika ia, maka itu indikasi bahwa ke depan kita tidaklah kecuali menjadi orang kebanyakan. Sebelum kita dibuntuti masa lalu biasa yang berkepanjangan, lejitkan segala potensi detik ini untuk menjadikannya masa lalu yang luar biasa. Masa lalu yang luar biasa untuk masa kini yang luar biasa pula sama dengan masa kini yang luar biasa untuk masa depan yang luar biasa.Kesimpulannya, posisikan diri kita pada detik ini dan lihatlah siapa kita dimasa lalu, lalu posisikan diri kita pada detik ini dan terkalah siapa kita dimasa depan, tentu semua itu melihat dari semaksimal apa kita berkontribusi untuk diri dan sekitar kita, dan pastinya terus berdo’a!

“Jika masa lalu yang ‘dulu’ tidak bisa diubah, ada masa lalu ‘saat ini’ yang masih bisa diusahakan. Detik ini adalah masa lalu bagi masa depanmu!”

Aku Ingin Sendiri Dulu

“Aku ingin sendiri dulu.”

Begitulah ucap wanita pada umumnya bersama isak tangis yang tak kunjung mereda jika hatinya sedang terluka. Bukan berarti dia tak ingin berbagi, justru itu cara pertama dia membagi kesedihan dan segala perasaannya saat itu.

Terkadang, segala keterlanjuran terjadi bukan karena keinginan sepenuhnya, melainkan karena rapuhnya hati untuk menolak sesuatu yang dianggapnya tak layak. Dia memang memiliki hati yang bisa menolak, tapi lisan tak cukup kuat untuk berteriak. Perasaannya sebagai wanita begitu kuat, sehingga berat baginya melihat muka masam orang lain ataupun air mata yang tersebab dia. Hanya penyesalan yang kemudian meraksasa disetiap arah pandangnya.

Jangan tinggalkan aku

Itulah bahasa kedua yang ingin diungkapkan dari singkatnya ucapan di atas. Perasaan hati yang ingin dipeluk hangat agar ia tidak merasa sendiri setelah sementara waktu dia mencoba menenangkan hati dan pikirannya, setelah puas air mata menyejukkan kelopak matanya. Dia butuh tempat saat hatinya sendiri menolaknya. Dia butuh telinga orang lain setidaknya terdengar segala gulana yang masih memburunya.

Malam menjadi syahdu saat bulirnya kembali jatuh di hadapan Sang Pemilik hati. Baginya, Allahlah tempat paling nyaman dan bebas mengeluh dan berdo’a. meminta ampun pada Sang Maha Perkasa atas kerapuhan diri dan hatinya.

Maka, biarlah berkata, “Aku ingin sendiri dulu” untuk bisa menopang kembali jiwa dan raganya.

@Tiada yang lebih peduli selain Yang Maha Peduli

_Hati yang rapuh

Lelaki Bersarung Merah

Berawal dari sebuah warna yang tak pernah aku favoritkan, kecuali bersanding dengannya warna putih, maksudku merah putih, bendera itu. Aku sangat suka merah jika bersama putih, atau putih saja, tapi bukan merah saja. Bagiku merah itu terlalu mengganggu pandangan dimusim panas kala terik menarik jatuh keringatku. Bagiku juga, merah itu mengerikan kala hujan memancing kilatan dan gemuruh, tapi dari warna inilah sebuah perjalanan sederhana ku mulai.

Pagi itu di awal Desember, hujan sedang gencar-gencarnya mengintai jemuran dan menyamarkan lubang-lubang jalan. Persis seperti sebuah sinetron, aku mengendarai motor maticku ke kampus dengan terburu-buru hingga tak pedulikan apa, siapa, dan bagaimana keadaan di sekitarku, aku lupa bagaimana kronologinya, tapi seorang bersarung hijau tiba-tiba meneriakiku hingga berhasil membuat ban motorku menghentikan lajunya. Aku menoleh ke arah suara.

“He, tanggung jawab!” Teriak lelaki bersarung hijau. Aku melihat lelaki bersarung merah berbicara padanya, entah apa yang disampaikannya, aku hanya melihat gerak bibir dan ekspresinya karena jarakku dengan kedua lelaki itu kira-kira sebelas meter.

Mendengar kata-kata tanggung jawab, lantas akupun memutar arah dan melupakan sejenak tentang jam kuliahku. Tentu saja, karena aku tak ingin dikatakan tidak bertanggung jawab.

“Tanggung jawab apa,Pak? Saya gak nyerepet.” Aku membela diri.

“Kamu memang gak nyerepet, tapi lihat donk ada air tuh, jalannya pelan-pelan. Pakaian teman saya jadi kotor, kecipratan!” Kata lelaki bersarung hijau.

“Teman bapak aja gak protes, kok bapak yang ngotot?” Tanyaku sedikit kesal.

“Maaf, teman saya ini jarang mau ngladenin cewek kayak kamu.”

  Mendengar kata-kata itu, aku sedikit naik darah, memang aku cewek apa? “Kalo gitu, bagaimana? Mau aku cucikan? Sini lepas, biar aku bawain ke laundry!” Kataku.

“Gak mungkinlah. Ini kan pinggir jalan.” Jawab lelaki bersarung hijau.

“Makanya jangan asal ngomel kalo gak punya solusi.” Jengkel.

“Maaf, gak apa-apa, ini cuma air tanah, nanti juga hilang kalo direndem, pergi aja, kayaknya mau kuliah, pasti sudah telat.” Komentar lelaki bersarung merah.

Aku tertegun dengan bahasanya yang sopan dan ekspresinya yang bersahabat, begitu kontras dengan lelaki bersarung hijau itu. Akupun berterima kasih lalu pamit.
***

Hari berlalu. Ternyata aku dihantui rasa bersalah karena bersikap begitu dingin padanya, meminta maafpun tidak. Setiap melewati jalan itu, jalan di dekat kampusku, ingatanku jelas, ingat itulah yang kemudian meng-habit hingga membuatku merindukannya. Jika mengaitkannya dengan kisah kerudung merah, bagiku rinduku adalah modifikasi gangguan srigala itu, bedanya, ini gangguan yang tidak menyamankan tapi diharapkan kedatangannya, namun sayang sejak hari itu aku tak pernah lagi melihatnya. Oh, srigala? Rindu dari merah pertama yang menghantuiku.
***

Tepat pagi akhir dibulan Desember, aku mengerem motorku sekitar lima meter di depan lelaki yang dulu bersarung hijau, kali ini dia bersarung putih kotak-kotak. Ketika dia melihatku, dia langsung menghentikan langkahnya, tampaknya dia masih ingat denganku. Aku lihat satu kitab Shahih Muslim bertengger di antara tangan kanan dan dadanya.

“Assalamualaikum.” Salamku.

“Wa’alaikumussalam.”

“Mana teman bapak yang kemarin pakai sarung merah?” Tanyaku.

“Kemarin?” Tampak bingung.

“Maksudku yang waktu itu kecipratan gara-gara aku.”

“Oh, Zaky.” Jawabnya pendek.

“Iya kali, Pak.”

“Tolong jangan panggil bapak. Aku masih mahasiswa STKIP juga, mungkin kita beda jurusan.” Paparnya.

“Maaf. Iya dia dimana?” Tanyaku.

“Dia sedang dirawat di RS Selong, sudah empat hari, kemarin panasnya tinggi sekali. Tapi sekarang udah baikan. Infusnya juga baru dilepas katanya waktu ku telpon.”

Mendengar jawaban itu, tiba-tiba hatiku menjadi gundah, padahal aku baru pertama kali bertemu saat itu. Namun kini, bukan perasaan bersalah yang ku rasakan, bukan perasaan seperti beberapa minggu lalu, melainkan metamorphosis rasa, dari ulat yang mengerikan, dari cipratan kotor lalu menjadi kupu-kupu, menjelma cipratan rindu yang berwarna kemerahan.

“Kenapa diem?” Tanyanya padaku.

“Gak ada. Boleh aku jenguk? Aku mau minta maaf. Waktu itu aku diburu kuliahku, jadi gak bisa lama-lama. Nanti sore sepulang kuliah ya?”

“Bisa. Oya, namaku Yayan. Ini nomorku, nanti sms aja.”
***

Aku sudah berada disamping Zaky sejak lima belas menit yang lalu, hujan memaksaku menunggu lumayan lama di kampus sebelum akhirnya menerobos gerimis itu hingga aku bisa merasakan posisi nyamanku saat ini.

“Maaf ya waktu itu. Aku pengen banget minta maaf dari kemarin, tapi kita gak pernah ketemu lagi, sampai akhirnya tadi pagi aku liat Yayan dan tanya tentang kamu ke dia.” Zaky hanya tersenyum. Azan maghrib berkumandang. Kami diam. Yayan keluar sholat ke masjid.

“Aku ingin sholat berdiri.” Zaky meminta adik perempuannya untuk membantunya bangun.

“Apa kak Zaky kuat?” Tanya adiknya. Melihat ekspresi Zaky yang begitu ingin, akhirnya dia membiarkannya. Zaky bertayammum dan mengenakan sarung merahnya yang pernah menjadi korban laju motorku. Aku tersenyum, begitu aneh, tiba-tiba aku menjadi sangat senang dengan warna merah.

Dalam sujud dirakaat terakhirku, aku berdo’a dalam hatiku, “Ya Allah ya Rahman, Engkau Yang Maha Cinta, Yang Menciptakan Warna Merah, Engkau yang memerahkan hati dengan kasat dan tersirat, pintaku, jika dia baik, jadikan dia imam abadiku, dan jadikan aku makmum yang baik untuknya. Amin”
____END___

Kamis, 19 Desember 2013


QUBA MOSQUE

The Quba Mosque is one of the oldest mosques in the world. Quba mosque was built in the year 1 Hijriah or 622 M in Quba by our prophet Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. It is located approximately 5 km to the southeast of the city of Madinah. It is a simple mosque, but it becomes the example for next construction of mosque in this world.

Quba mosque in our prophet era and now are different. In our prophet era, we can find many pillars from palm trees, the flat roof that made from the date leaves and clay. In the middle of the mosque, we can find a well; it is used for taking ritual ablution.

Quba mosque nowadays, the courtyard is flagged with black, red and white marble. The mosque has 19 doors; 3 doors are the main doors and 16 doors are the common doors. From the 3 main doors; 2 doors for men and a door for women. When entering into the mosque, pay attention to the instruction in the front of the door, whether the door for men or women.

Now, we enter to the mosque, the prayer hall is arranged around a central courtyard, it’s characterized by six large domes resting on clustered columns. A portico, which is two bays in depth, borders the courtyard on the east and west, while a one-bayed portico borders it on the north, and separates it from the women's area. The women's area, which is surrounded by a screen, is divided into two parts as a passageway connects the northern entrance with the courtyard.

In the 20th century when renovation was conducted, the prayer hall connects to a cluster containing; residential areas, offices, ablution facilities, shops, and a library. Six additional entrances are dispersed on the northern, eastern and western façades. Four minarets mark the corners of the prayer hall. The minarets rest on square bases, have octagonal shafts which take on a circular shape as they reach the top.

Method and Technique in teaching this material   : Picture to picture
Learning Scenario for Senior High School :

1.      Opening writing activity
a.       Greeting .
b.      Checks the students’ attendance list.
c.       Connecting the last lesson with today’s lesson.
d.      Telling the students what will they learn today.
e.       Delivering the purpose of the study.

2.      Whilst writing activity
a)      Asking student about their general knowledge about the topic ( Quba mosque).
b)      Showing a picture of the Quba mosque and showing the example of descriptive text “Quba Mosque” by LCD or some of papers.
c)      Asking student about descriptive text in general.
d)     Giving instruction indirectly (asking general structure, social function, and grammatical future by student center base on their prior knowledge).
e)      Explaining about general structure, social function, and grammatical future of descriptive text in detail by teacher center.
f)       Asking the students to write a simple descriptive text .

3.      Post writing activity
a)      Feedback.
b)      Giving student the chance for asking their problem in learning descriptive text.
c)      Conclusion by students first.

d)     Giving assignment for the students to write the descriptive text.

Rabu, 04 Desember 2013

TEACHING MEDIA

FLANNEL BOARD

(RETELLING NARRATIVE STORY FOR KINDERGARTEN)


A.           CONCEPT OF SCENARIO
I am a kindergarten teacher. For this material, I use a flannel board to teach my students. The material that will be taught is retelling narrative story.
This is concept of the video.
1.      Pre activity
a.       Greeting
b.      Introduction of the material
2.      Whilst Activity
In this section, a teacher just retells a narrative story, “Three Little Cats”.
Once upon a time there were three little cats and the time came for them to leave home and seek their fortunes.
Before they left, their mother told them "Whatever you do, do it the best that you can because that's the way to get along in the world.
The first little cat built his house out of straw because it was the easiest thing to do. The second little cat built his house out of sticks. This was a little bit stronger than a straw house. The third little cat built his house out of bricks.
One night the big bad dog, who dearly loved to eat fat little cat, came along and saw the first little cat in his house of straw. He said "Cat, cat, let me in, Let me in, little cat, or I'll huff and I'll puff and I'll blow your house in!"
"Miau,miau, no,no,no!", said the little cat.
But of course the dog did blow the house in. the cat ran and shout, “Help me! Help! Help!
The dog then came to the house of sticks.
"Let me in , let me in little cat, or I'll huff and I'll puff and I'll blow your house in."
"Miau, miau. No, no, no!", said the little cat. But the dog blew that house in too. Both of the cats shout, “Help me, help, help!”
The dog then came to the house of bricks.
" Let me in , let me in" cried the dog, "Or I'll huff and I'll puff till I blow your house in."
"Miau, miau. No, no, no!" said the cat.
Well, the dog huffed and puffed but he could not blow down that brick house. But the dog was a sly old dog and he climbed up on the roof to look for a way into the brick house.
The little cat saw the dog climb up on the roof and lit a roaring fire in the fireplace. When the dog finally found the hole in the chimney he crawled down. The buttock of the dog was burnt, that was the end of his troubles with the big bad dog.

3.      Post activity
The teacher gives conclusion by giving some messages relate to the narrative story.

B.            TOPIC AND TARGET
The topic of this lesson is retelling narrative story with the title “Three Little Cats.” This story is modification from familiar story, Three Little Pigs. We know, in 2013 Indonesia curriculum, we expected to consider the topic relate to the milieu of the students, so the primary changing here is the pigs change to the cats.
Target of this presentation is to improve listening skill of kindergarten students. Automatically, they will become usual to comprehend the foreign language, especially English.


C.           MEDIA AND TOOLS
Choosing suitable media is very important; it is expected in kindergarten level to avoid boring of the students. In this section, I am as a teacher use the flannel board to deliver the material. The board and some characters that will be used have to prepare some days before delivering to students.

D.           TECHNIQUE OF VIDEO PERSENTATION
Technique in delivering this material is a teacher retells the narrative story while showing the character on the flannel board, so it will help the students to comprehend the story and to get the message of the story.